Minggu, 26 April 2020

Resume Buku: Kurikulum Hakikat, Fondasi, Desain & Pengembangan (5)


               I.          Landasan Sosiologis
A.   Masyarakat, Kebudayaan dan Pendidikan
1.    Tingkah laku kultural
Antropologi Beattie menyimpulkan bahwa kebudayaan mencakup semua tingkah laku yang dipelajari manusia, dengan berbekal tingkah laku kultural warga bisa berfungsi dan bertingkah laku baik.hanya dengan hidup bersama di masyarakat, seorang indvidu dapat mempelajari kekayaan budaya sosial dan tingkah laku budayanya.

2.    Bias Kultural Tak Disadari
Adanya kecendrungan warga berpihak pada kebudayaan sendiri. Keberpihakan itu disebabkan kultur dan norma budaya telah mengikat tiap warga, sehingga ia tetap berada dalam kungkungan kapsul budayanya itu.
3.     Faktor Sosial Psikologi Bias Kultur
Self-fulfilling prophecy. Konsep ini terkait dengan pandangan seseorang tentang sesuatu berdasarkan pada kreasi dan validasi tentang sesuatu yang didasarkan orang itu pada apa yang dianggapnya ada daripada apa yang sesungguhnya ada. Faktor yang menyebabkan seseorang gagal memandang sesuatu secara akurat: 1. Kita memersepsi sesuatu berdasarkan latihan yang telah kita peroleh dan pengalaman masa lampau, 2 kita memandang sesuatu berdasarkan harapan, 3. Kita memandang sesuatu berdasarkana kita, dan kita melihat sesuatu atas pengaruh orang lain.
4.    Agen Sosialisasi
Sehubungan dengan enkapsulasi yang membuat warga masyarakat bias terhadap budaya sendiri, muncul fungsi pendidikan untuk “mengeluarkan” peserta didik dari kungkungan kapsul budayanya melalui kurikulum yang membuka jalan bagi transformasi kebudayaan. Ini berarti masyarakat mendirikan sekolah, bukan sekadar untuk mewariskan kebudayaan apa adanya, tetapi juga mentransformasi kebudayaan dan mengembangkan potensi individualsiswa bagi kemajuan kehidupan masyarakat.
B.    Struktur Kebudayaan
1.    Budaya Universal
Budaya universal ialah semua nilai-nilai, kepercayaan dan adat istiadat yang dianut semua warga suatu masyarakat. Konten budaya berkaitan dengan bahasa, makanan, agama, pola piker, norma kepercayaan, dan nilai-nilai. Sehingga kalau ada warga yang melakukan pelanggaran norma spesifik, ia bisa menerima sanksi masyarakat karena melanggar ketentuan elemen budaya universal.

2.    Budaya Khusus
Budaya khusus terdapat hanya pada sub grup budaya tertentu saja. Kebudayaan khusus biasa ditemui pada masyarakat multikultur dan kompleks. Subkelompok berdasar profesi, kelas sosial, gender, umur, agama atau etnis.

3.    Budaya Alternatif
Budaya alternative berbeda, bahkan bertentangan dengan budaya universal yang berlaku umum di masyarakat atau dengan budaya khusus. Adopsi budaya alternative atau budaya khusus ke dalam kurikulum tidak boleh dilakukan dengan indoktrinasi tetapi melalui pengkajian yang mendalam agar tidak banyak penolakan oleh masyarakat berbudaya universal.
C.    Nilai-nilai dan Kepribadian
Manusia bukan hanya knowing organism tetapi juga valuing organism, Artinya, tata cara hidup dan tingkah laku warga mengandung nilai-nilai dan merupakan suatu kepribadian masyarakat, karena mengandung pilihan tindakan yang lebih diterima dan lebih baik dari pilihan tata cara hidup lain. Nilai yang dijunjung tinggi seseorang bukan terlihat pada apa yang dikatakannya.

Dalam konteks sekolah, kurikulum disusun dan dikembangkanagar nilai-nilai yang dianut dapat dilaksanakan siswa walaupun selalu saja terdapat kesenjangan antara apa yang dinilaikan dan apa yang dilakukan. Ini juga berarti kultur sekolah harus mencerminkan nilai-nilai yang dianut sekolah dan terdapat dalam kurikulum sekolah.

Kita tahu bahwa pendidikan harus membantu siswa menerima budayanya apa adanya. Tetapi, dalam hal ada cultural change, budaya harus dijadikan sebagai a supporting cognitive growth (fasilitas pertumbuhan kognitif) siswa dengan cultural amplifiers, yaitu peningkatan kemampuan kognitif siswa untuk memahami perubahan kultur baru itu, tetapi bisa dan mengikutinya dengan kesadaran bahwa perubahan kultur itu baik bagi perkembangan budayanya sendiri.
D.   Aspek kultural Psikologis
Apabila kurikulum sekolah disusun dan diimplementasikan tidak lebih dari indoktrinasi kebudayaan, akibatnya kurikulum sekolah menjadi stempel kultural. Akibat yang lebih fatal akan membuat masyarakat statis, tidak akan pernah maju, malahan akan menolak kebudayaan lain yang barangkali lebih baik dari kebudayaan sendiri. Apalagi kalau keadaan itu berkembang menjadi penolakan terhadap yang bersifat kebudayaan asing, terutama jika sampai mencapai keadaan yang menimbulkan nationalist sentiment. Perlu kurikulum yang memperkenalkan sifat relativitas kebudayaan, sehingga terbuka pintu untuk mempelajari nilai-nilai yang baik dari kebudayaan lain.

E.    Pendidikan Karakter (Pendidikan Nilai-nilai)
Perlunya pendidikan nilai dilakukan terkait pula dengan maraknya isu kontemporer yang menyalahi nilai yang dianut seperti kerakusan perusahaan besar, penyalahgunaan obat terlarang dan korupsi. Pendidikan karakter mencakup bukan hanya kategori kebaikan hubungan dengan orang lain seperti toleransi, respek pada orang lain, sukamenolong, simpati, tetap juga bagi kebaikan diri sendiri (self oriented virtues) seperti kerja keras, disiplin diri, pantang menyerah, serta kombinasi kedua kategori tersebut. Selain itu, kita perlu menambah kategori ketiga, yaitu nilai-nilai yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, sehingga pendidikan nilai-nilai lebih tepat disebut pendidikan akhlak mulia. Sasaran sekolah ialah pembentukan siswa sebagai manusia seutuhnya. Kurikulum harus fokus pada intelektual, pengamalan dan tingkah laku.

F.    Sumber Perubahan Kurikulum
Pendidikan berada di persimpangan jalan, antara berlarinya perubahan masyarakat dan merangkaknya perubahan sekolah.
1.    Perubahan Masyarakat
Salah satu penyebab konservatisme institusi pendidikan ialah kesenjangan yang disebabkan perbedaan antara laju kemajuan teknologi disatu pihak dan nilai-nilai institusi sosial di lain pihak.

Future shock, yaitu keterkejutan yang ditimbulkan perpindahan ke masa depan yang sangat cepat dibandingkan keterbatasan kemampuan manusia mengikuti perubahan drastis. Misalnya kesukaran menentukan pilihan yang bijak dari berbagai ragam merek produk yang melimpah ruah sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terkait fenomena ini, kedua penulis merekomendasi agar para pendidik terutama hali kurkulum mengurangi dampak educational lag atau future shock dengan tidak mendesain kurikulum 1990an dengan kurikulum sekolah 1970an
2.    Perubahan Sekolah
Meskipun sekolah sudah mengalami perubahan dari sisi teknologi, namun masih berfokus pada teaching daripada learning. Ini berarti suasana kelas lebih bersifat instruktif, indoktrinatif dengan objeknya siswa yang pasif, sehingga sistem pembelajaran belum bersifat dialogis, partisipatif dengan siswa yang aktif. Dengan kata lain, siswa kebanyakan masih berperan sebagai objek pengajaran guru daripada subjek pembelajaran siswa sendiri.
3.    Pengembangan Pengetahuan
Jumlah pengetahuan ilmiah terus bertambah, ledakan pengetahuan tidak bisa dipungkiri. Masalah pokok ialah seleksi pengetahuan yang masuk kurikulum, yaitu pengetahuan yang bermanfaat bagi siswa dalam menghadapi kehidupan masa depan.
4.    Perubahan masa depan
Ornstein & Hunskins mengajukan 10 rekomendasi tentang knowledge and future learning
·      Keterampilan dasar (membaca, menulis,berhitung, computer, bahasa asing,)
·      Keterampilan learning how to learn
·      Aplikasi pengetahuan pada kehidupan nyata
·      Kemandirian siswa, rasa percaya diri, motivasi, perasaan, ranah afektif, merasa puas atas diri sendiri dan orang lain, kekhawatiran tidak dapat memanfaatkan keterampilan kognitifnya
·      Opsi tentang cara dan metode belajar
·      Kemampuan menghadapi sains dan teknologi
·      Menyiapkan siswa menghadapi kehidupan birokratif, seseorang dituntut untuk berhubungan baik secara horizontal maupun vertikal kaitannya dengan undang-undang yang berlaku.
·      Kemampuan mengakses informasi lama sehingga ia dapat mengembangkan , memodifikasi atau mentransformasinya menjadi pengetahuan baru
·      Memfasilitasi siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat, memperoleh banyak pembelajaran baru di luar sekolah
·      Menggunakan pengetahuan sebagai refleksi aksi nilai-nilai dan struktur nilai yang kita pentingkan

Dirangkum dari   Sumber:Ansyar, Mohammad.2017. KURIKULUM Hakikat, Fondasi, Desain dan Pengembangan. Jakarta: Penerbit Kencana  Resume Buku: Kurikulum Hakikat, Fondasi, Desain & Pengembangan (3)

Rabu, 22 April 2020

Resume Buku: Kurikulum Hakikat, Fondasi, Desain & Pengembangan (4)


      I.               Landasan Historis
A.        Pendidikan Pra-Abad ke-20
1.         Pendidikan Mesir dan Cina Kuno
Setengah dari 6000 tahun sejarah mesir pendidikan fokus pada praktik daripada pengembangan berpikir kognitif abstrak, sedangkan  afektif diajarkan melalui institusi agama dan keluarga.pengajarandiutamakan pada matematika praktis, astronomi, kedokteran, teknik, dan geografi . keruntuhan disebabkan kurangnya kesusastraan, pola piker filosofis dan penelitian ilmiah yang berhubungan dengan pengetahuan abstrak.

Di Cina, pendidikan pertama ide Lao-Tse (Abad ke-6 SM) pendidikan merupakan buah kontemplasi sebagai landasan pokok perkembangan pikiran dan prestasi yanag bermanfaat dan penting bagi kehidupan manusia, dan kedua Confucius abad ke-5 SM, pendidikan harus berorientasi kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi.

2.         Pendidikan Yunani Kuno
Sistem pendidikan yang terkenal di Yunani ialah pendidikan di Kota Sparta dan Athena selama abad ke-7 dan Ke-8 SM. Laki-laki dan perempuan dilatih pendidikan jasmani untuk menjadi tentara sampai mereka menjadi warga kota pada umur 30 tahun. Fokus pendidikan ialah pada latihan pendidikan jasmani melalui latihan kemiliteran gimnastik. Pendidikan moral dan politik diajarkan dengan menghafal undang-undang. Sistem pendidikan tersebut menghasilkan anak berketerampilan  militer yang kuat dan politisi andal.

Adapun di Athena, anak perempuan tinggal di rumah di bawah asuhan ibu untuk menerima pendidikan moral dan pengembangan fisik agar bisa melahirkan anak-anak sehat ketika dewasa. Adapun laki-laki dikirim ke sekolah swasta sampai berumur 16 tahun. Pendidikan  indvidualistik merupakan karakteristik pendidikan Athena. Anak-anak mempelajari berbagai ragam mata pelajaran termasuk tata bahasa sastra , puisi, retorika, drama, matematika dan pidato. Sekolah Athena menghasilkan filsuf terkenal dan guru-guru seperti Socrates, Plato dan Aristotle.

Pertengahan abad ke-15 SM, timbul perubahan ekonomi Yunani yaitu munculnya kelas pedagang yang memerlukan tipe baru pendidik. Aristipus mengutamakan hedonismesebagai tujuan hidup dan sasaran pendidikan.Epiricus menginginkan kesederhanaan dan moderasi. Citium menekankan kehidupan sederhana dan pengekangan nafsu kemewahan dan kepemilikan materi sebagai tujuan pendidikan.

Menurut Aristotle murid Plato, pendidikan liberal fokus pada peningkatan kompetensi personal yang bermanfaat bagi masyarakat.

3.         Pendidikan Romawi Kuno
Tujuan pendidikan Romawi Kunoadalah pengajaran nilai-nilai moral dan kemuliaan sosial untuk menjaga ketertiban hukum, kebiasaan danagama.dengan sistem itu Romawi membentuk empirium besar yang mengharuskan mereka konsentrasi pada perang dan politik. Setelah emporium itu terealisasi, mereka fokus pada administrasi, hukum dan diplomasi bagi pemeliharaan kekuasaan.sistem pendidikan format romawi dimulai di sekolah dasar, 6-12 tahun yang mengajar membaca, menulis, aritmetika dan moral. Sekolah dasar dilanjutkan dengan sekolah menengah atau sekolah grammar dengan mata pelajaran bahasa latin, yunani, sejarah, mitologi dan etika. Bangsa romawi kemudian mengembangkan kurikulum the seven liberal arts, Trivium: grammar, retorika, dan logika. Dan kurikulum Plato Quadrivium aritmetika, geometri, astronomi dan music. Sensor ide-ide pemisahan para ahli dan politisi dianggap sebagai penyebab utama kejatuhan romawi.
4.         Pendidikan Islam
Sumber utama ajaran agama Islam terpelihara dalam Al-Qur’an, mulai diturunkan dengan ayat pendidikan. Banyak ayat yang memerintahkan umat Islam agar mampu memakai akalnya (berpikir), sehingga umat bisa mempelajari berbagai gejala alam raya hasil ciptaan-Nya. Mengkaji gejala alam ditugaskan Allah kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi. Munculnya banyak pakar dan pemikir Islam yang berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan seperti Ibnu Khaldun, Al-Ghazali dan Avicena. Salah satu karya terbesar Avicena adalah terjemahan dan pelestarian karya filsuf Yunani seperti Aristotles, dimana ketika itu bangsa eropa kehilangan teks tersebut.

5.         Pendidikan Abad Pertengahan
Abad pertengahan ditandai melemahnya pembelajaran dan penguatan pengaruh skolastik pendidik akademik. Dengan ketiadaan pusat kekuasaan politik yang kuat, pola kehidupan di masyarakatpertengahan merupakan sintesis gereja katolik Latin yang dikendalikan Paus di Roma.

Pendidikan dasar di era ini dilakukan melalui institusi seperti parish, chantry, dan monastic school di bawah naungan gereja . Sekolah monastic dan sekolah katedral menawarkan kurikulum pengetahuan umum. Adapun sekolah yang memberikan keterampilan pokok dan kejuruan dilakukan gilda perdagangan dan kerajinan. Para kesatria menerima latihan kemiliteran dan hukum sipil di istana.

6.         Pendidikan Era Renaisan dan Reformas
Para sarjana di Eropa berpaling pada sastra humanis Yunani dan romawi, juga yang lebih penting tumbuhnya spirit penelitian ilmiah. Di bidang pendidikan, hal ini menumbuhkan metode kritis bertanya Socrates serta pedagogis praktis dan humanistic. Sekolah Da Feltre di Mantua menyiapkan anak orang kaya menjadi gentleman berbuadaya melalui kurikulum The seven liberal arts. Erasmus dari Belanda adalah yang pertama semenjak Quintillan yang menyatakan bahwa metode mengajar harus berdasarkan pemahaman tentang anak dan psikologi belajar.

Martin Luther King dan John Calvin adalah dua contributor utama perubahan kurikulum di era reformasi. Luther ingin pendidikan wajib bagi semua anak: kaya, miskin, laki-laki dan perempuan. Sekolah harus dibawah control pemerintah sehingga mudah di monitor, disupervisi dan disurvei agar dapat dicek akuntabilitas apakah kurikulum dilaksanakan sesuai standar. Calvin menganjurkan perlu supervise rumah tangga supaya diketahui apakah orang tua mengajarkan ajaran agama dengan benar, sehingga bisa dihindarkan pengajaran agama yang tidak sesuai doktrin agama.

Spirit era rasional mencapai puncaknya pada abad ke 17 dan ke 18 yang dimulai penemuan ilmiah oleh filsuf, ilmuan sosial dan pendidik seperti Copernicus, galileo dan newton. Filsuf Thomas Hobbes dan Rene Descrates melanjutkan bahwa logika dan empirisme berpengaruh besar pada kurikulum.

B.         Pendidikan Menjelang Abad ke-20
Filosof Perancis Jean Jacques Rousseau mengusulkan kurikulum yang mengharuskan anak bermain secara alamiah selama lima tahun, selama tujuh tahun berikut mengaktifkan pengalaman sensori melalui pelajaran kingkrit daripada abstrak. Sasarannya adalah agar anak anak dapat mengembangkan konsep, ide dan rsio ketika berumur 12-17 tahun, sehingga ketika mereka terjun ke masyarakat mereka sudah memahami hal-hal yang baik dalam kehidupan bersama di masyarakat. Pestalozzi mengkampanyekan pentingnya keseimbangan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.

Munculnyasemangat sains memperoleh momentum waktu Herbert Spencer dari inggris menilai studi ilmiah seperti sosiologi, politik, fisika dan biologi lebih penting dari pendidikan kultural dan humaniora ketika sains berkontribusi lebih besar bagi kelanjutan hidup manusia. Charles Darwin memunculkan suatu pertanyaan pada diri spencer terkait kurikulum yaitu “What knowledge is of most worth” Herbart menjawab sendiri pertanyaan itu, yaitu pengetahuan tentang kesehatan, vokasi, kewarganegaraan, kerumahtanggaan dan pemanfaatan waktu luang. Ternyata ide ini bergema dalam kurikulum sekolah sampai abad berikut.

C.         Pendidkan Abad ke-20
William James dari Harvard membawa ide learning by doing yang menginspirasi Dewey untuk mengembangkan teori bahwa sekolah dan masyarakat tidak terpisah. Pada saat bersamaan di Italia, Maria Montessori mengajukan metode perkembangan spontan fisik, mental, dan spiritual melalui pengembangan sensori. Tujuan utama pelajaran individual Montessori ialah membantu anak mengurus diri sendiri. Gerg Kerschenteiner dan Devide Decroly mendirikan sekolah kerja dengan kurikulum terpusat pada minat anak.

Munculnya kurikulum sebagai bidang studi ditandai dengan terbitnya buku-buku yang membahas kurikulum. Kaum tradisionalis fokus pada mata pelajaran, kaum sosial behaviorist pada masyarakat, dan kaum eksperimentalis pada siswa. Kurikulum dituntut untuk responsive terhadap perubahan kebutuhan masyarakat dengan dinamika tinggi sehingga relevansi kurikulum tetap terjaga sesuai tuntutan perkembangan, kemajuan dan tantangan masa depan yang cepat berubah.

 Dirangkum dari   Sumber:Ansyar, Mohammad.2017. KURIKULUM Hakikat, Fondasi, Desain dan Pengembangan. Jakarta: Penerbit Kencana  Resume Buku: Kurikulum Hakikat, Fondasi, Desain & Pengembangan (3)

Selasa, 21 April 2020

Resume Buku: Kurikulum Hakikat, Fondasi, Desain & Pengembangan (3)

          I.          Landasan Filosofis
A.    Filsafat dan Kurikulum
1.     Mengapa filsafat?
Tanpa filsafat, pendidik kehilangan pedoman ketika merancang, melaksanakan dan meningkatkan kualitas pendidikan. Filsafat, yang mengkaji knowledge of the good life, membantu pendidik memahami hakikat hidup yang baik bagi individu dan masyarakat.
2.     Organisasi posisi filsafat
·       Ontologi = hakikat realita, Apakah realita itu?
-   Ontologi supernatural
-   Ontologi bumi
-   Ontologi manusia
·  Epistemologi = hakikat ilmu dan pengetahuan dan hakikat mengetahui, Bagaimana    kita mengetahui kebenaran?
- Menetapkan manusia berasal dari Adamsesuai ajaran agama berarti kebenaran diwahyukan melalui kekuatan supranatural, berharga dan mutlak
- menyatakan manusia berasal dari kera versi Darwin berarti kebenaran ditemukan melalui studi ilmiah, realita seperti apa yang diperoleh melalui panca indra,penemuan empiris realita di dunia
·      Aksiologi = hakikat nilai
Apakah yang bagus (indah) itu?, “Apa yang baik dilakukan orang?”
Penting pbagi kurikulum bukan hanya knowing mechanism tetapi valuing organism
Etik= salah, benar, Estetika= pengertian indah dan kesenangan


B.    Filsafat Umum
1.     Idealisme
Realitas akhir adalah spirit daripada fisik dan mental daripada materiel. Terlihat bahwa mata pelajaran utama idealism adalah mata pelajaran umum atau abstrak seperti filsafat dan teologi yang menembus waktu, tempat, dan lingkungan di samping keunggulannya yang dapat diaplikasikannya luas. Mata pelajaran abstrak lain ialah sejarah dan kesusasteraan, karena mengandung pesan moral dan model kultural yang baik.
2.     Realisme
Eksistensi dunia terlepas dari manusia dan tergantung hukum alam yang hampir tidak dapat dikontrol manusia, sekolah perlu mentransfer muatan pokokpelajaran agar siswa memahami du ia sekeliling mereka. Kurikulum menurut realis, terdiri terutama pada pengajaran fisika dan ilmu sosial yang menerangkan fenomena alam. Bagi kaum realis tujuan pendidikan ialah membantu siswa menjadi seorang intelek utuh serta mampu beradaptasi dengan lingkungan fisik sosial mereka, implikasi realisme mengajar siswa kebenaran melalui mata pelajaran klasik, karena kurikulum dan konten tidak berubah sepanjang jaman.

3.     Pragmatisme/Eksprementalism
Pembelajaran sebagai proses merekonstruksi pengetahuan atau pengalaman sesuai metode ilmiah untuk diaplikasi pada pemecahanmasalah tertentu yang jenis dan bentuknya dapat bervariasi pada lingkungan dan waktu yang berbeda. Pembelajaran pragmatism bukan fokus pada transfer pengetahuan, tetapi pada fasilitasi kemampuan siswa mengembangkan pengetahuan

4.     Eksistensialisme
Berdasarkah pilihan individual, sesuai dengan pengembangan minat dan bakat untuk merealisasikan diri dan membuka kesadaran pada keberadaan diri di dunia ini.
C.    Filsafat Pendidikan

1.     Perenialisme
Memandang siswa belum matang untuk menentukan pengetahuan terbaik, hanya ada satu jenis kurikulum untuk semua siswa dimanapun berada. Membaca bahan bacaan klasik dan materi yang sukar merupakan bagian penting kurikulum perenialisme. Pendidikan umum adalah hak asasi manusia. Bersifat subject centered dan pembelajaran bernuansa teacher-dominated.
2.     Esensialisme
Tidak jauh berbeda dengan perenialisme, namun tumbuh pada masyarakat Industri, sehingga lebih berorientasi sains, mengutamakan pengembangan suatu vokasi atau pekerjaan, lebih praktis dan pragmatis.
3.     Progresivisme
Berakar pada filsafat pragmatism, Berdasarkan bakat & minat siswa, pengembangan kemampuan individual agar mampu  melakukan pemecahan masalah; mata pelajaran interdisipliner kegiatan belajar (proyek) & pengalaman belajar, tujuan pembelajaran meningkatkan kehidupan sosial demokratis (kurikulum relevan, kurikulum humanistic,pendidikan alternatif)
4.     Rekonstruksionisme
Berakar pada filsafat pragmatism, tekanan pada penguasaan ilmu-ilmu sosial dan metode riset. Tujuan

Resume Buku: Kurikulum Hakikat, Fondasi, Desain & Pengembangan (3)
Dirangkum dari

Sumber:Ansyar, Mohammad.2017. KURIKULUM Hakikat, Fondasi, Desain dan Pengembangan. Jakarta: Penerbit Kencana

Rabu, 08 April 2020

Resume Buku: Kurikulum Hakikat, Fondasi, Desain & Pengembangan (2)


  I.Konsepsi Definisi Kurikulum
A.  Pengertian dan Konsep Kurikulum
1.    Konsep Kurikulum
   Definisi kurikulum tradisional, berdasarkan filsafat perenialisme, mengartikan kurikulum sebagai an organized body of knowledge yang tersusun dalam berbagai mata pelajaran. Definisi berkembang dari rencana untuk mengajarkan mata pelajaran menjadi pengalaman belajar terencana.

      Pada abad ke-20. Konsep kurikulum tradisional mendapat tantangan. Khazanah ilmu pengetahuan berkembang pesat yang memunculkan ledakan pengetahuan , sehingga tidak mungkin semua pengetahuan diajarkan guru kepada siswa. Sangat sukar menyeleksi pengetahuan “esensial” untuk masuk buku teks atau buku paket.Kenyataan ini mengharuskan pendidik mengubah orientasi pembelajaran dari mengajarkan menjadi membelajarkan siswa dengan menyesuaikan materi dan tingkat kematangan siswa.
Kurikulum dimaknai berbeda oleh penulis akademik dan pemerintah suatu Negara yang umumnya menginginkan kurikulum sebagai instrumen perkembangan sosial dan ekonomi.

      Setiap kurikulum harus menetapkan terlebih dahulu tujuan yang akan dicapai, konten, kegiatan belajar dan pengalaman belajar yang dirancang untuk mencapai tujuan itu, serta harus dilakukan evaluasi untuk memastikan apakah kurikulum itu efektif dan efisien.

   Adapun kurikulum, menurut pendekatan humanistik, ialah kurikulum yang mementingkan belajar kooperatif, belajar mandiri, belajar dalam kelompok kecil. Bahkan tujuan kurikulum bisa ditetapkan bersama orang tua siswa atau masyarakat, bahkan bisa bersama siswa itu sendiri. Walaupun demikian, yang penting bagi pendidikan humanistic ialah kurikulum harus dapat memberdayakan semua potensi siswa agar ia bisa merealisasi dirinya menjadi seorang mandiri sesuai minat bakat dan potensi, kebutuhan dan tujuan pembelajar.

2.    Definisi Kurikulum
Secara harfiah, Kurikum berasal dari bahasa Latin currere yang berarti lapangan pertandingan. Kurikulum sebagai arena tempat siswa bertanding guna mencapai garis finish yang ditandai dengan pemberian diploma, ijazah atau gelar kesarjanaan
Pengertian harfiah modern currere yang berarti berlari yang kemudian berkembang menjadi program studi. Para peserta bertanding dengan mengutamakan kapasitas individual agar mampu mengaktualisasi diri di masa lalu, sekarang dan masa depan. Konsep kurikulum, menurut harfiah terakhir, lebih pas sebagai perolehan perspektif indvidu tentang hidup.

Sebagai rencana pembelajaran, Menurut Tanner dan Tanner, Kurikulum adalah pengalaman belajar terencana dan terprogram serta hasil belajar yang terbentuk dari rekonstruksi siswa atas pengetahuan yang dipelajarinya. Kedua penulis tersebut kemudian merevisi dengan memasukkan  siswa sebagai subjek pendidikan yang mampu mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman
Implementasi kurikulum di sekolah harus menimbulkan interaksi siswa dengan konten kurikulum. Hasil interaksi inilah yang membuahkan pengetahuan siswa yang selanjutnya ditransformasi atau dikonstruksi siswa menjadi pengalaman dan/atau kompetensi.

Sebagai Mata Pelajaran, Pengertian kurikulum tradisional bermula dari kurikulum klasik The Seven Liberal Arts yang terdiri atas The Trivium (grammar, retorik, dan dialektik) dan The Quardrivium  (aritmetika, geometri, geometri, astronomi, dan musik). Menurut pengertian tradisional, kurikulum berarti mata pelajaran atau konten (materi) mata pelajaran yang akan diajarkan sekolah, termasuk metode penyusunan dan materi ajar.

         Kalau definisi ini kita renungkan, terlihat bahwa seperangkat mata pelajaran tersebut tidak menggambarkan pengetahuan atau kompetensi yang akan dimiliki siswa setelah mempelajari semua mata pelajaran dan materi ajar tersebut. Oleh karena itu, para ahli cenderung menamakan daftar seperangkat mata pelajaran itu “program belajar” daripada kurikulum. Walaupun para ahli telah 1 abad mengupayakan pengertian kurikulum yang lebih luas dan mendalam, konsep kurikulum sebagai mata pelajaran tetap dipakai sebagai basis desain dan pengembangan kurikulum sampai kini.

Sebagai Konten, Banyak pendidik, terutama pada awal abad ke-20, memaknai kurikulum tradisional yang fokus pada transfer konten kurikulum dari guru ke siswa sedemikian rupa sehingga siswa kemudian harus mampu menunjukkan hasil transfer itu dalam ujian. Konsepsi kurikulum yang tradisional ini terasa amat luas karena tidak dapat dipastikan pengetahuan, keterampilan atau sikap apa saja yang harus dikuasai siswa melalui kurikulum dan pembelajaran.

Sebagai hasil belajar, Selama 40 tahun terakhir, kurikulum bukan sekedar rancangan saja, tetapi mengutamakan hasil implementasi rancangan itu dalam pembelajaran. Artinya, kurikulum dirancang untuk membuahkan hasil belajar untuk dikuasai siswa. Namun ada hal yang perlu diperhatikan yaitu adanya hasil belajar yang tersembunyi selain dari yang direncanakan. Seperti pada pembelajaran sejarah menggukanan metode yang tidak tepat. Secara tidak langsung pembelajaran tersebut menghasilkan anak yang  tidak suka membaca. Begitu pula munculnya hasil belajar terkait dengan isu kontroversi tentang pendidikan seks, marxisme, komunisme, homoseksual dan lain-lain yang tersembunyi dari kurikulum yang direncanakan. Maka dari itu perlu memperhatikan pendekatan, metode, atau teknik mengajar suasana kelas, strategi instruksional tertentu dalam pembelajaran agar memperoleh hasil belajar yang  sesuai dengan harapan masyarakat.

Sebagai Reproduksi Kultural, Sekolah didirikan agar mampu menghayati pentingnya pengetahuan, moral atau sikap dan nilai yang dianut orang tua mereka. Kelemahan dari definisi kurikulum ini adalah tidak menyediakan tangga sosial bagi kemajuan individu anak dan kehidupan masyarakat. Padahal pendidikan pada dasarnya sangat pro perubahan bagi kemaslahatan umat, anti status quo.

Sebagai Pengalaman Belajar, Mark dan Jaminson mengartikan kurikulum sebagai seperangkat pengalaman belajar yang dimiliki siswa dalam suatu “setting” pembelajaran. Meskipun definisi ini dikritik terlalu luas, tetapi tidak ada manfaat jika kurikulum tidak berpengaruh pada peningkatan pengetahuan atau jika hanya menghasilkan hafalan saja pada siswa; dan Pengalaman berimplikasi perlunya implementasi kurikulum menghasilkan pengalaman, asalkan pengalaman itu berkontribusi pada pencapaian tujuan pendidikan.

Sebagai sistem Produksi, Kurikulum adalah seperangkat tugas yang harus dilakukan untuk mencapai hasil pendidikan. Biasanya, tujuan akhir dispesifikasi dalam bentuk tingkah laku seperti mempelajari keahlian, tugas, atau melakukan suatu tingkah laku lama dengan lebih baik. Pendekatan ini berasal dari program latihan di perusahaan, industry. Kritik terhadap konsep ini adalah kecendrungan untuk memandang pendidikan sebagai suatu mesin mekanis bagi pencapaian kognitif terendah, seperti mengingat informasi yang diberikan atau yang dihafalkan. Tingkat belajar yang tinggi seperti apresiasi, pengetahuan tentang pengetahuan diri sendiri (metakognitif), serta nilai-nilai (values), amat sulit diperoleh melalui latihan seperti yang diisyaratkan konsep kurikulum sistem produksi.

Sebagai bidang studi, kurikulum adalah bidang studi atau mata pelajaran/kuliah memiliki fondasi dan ruang lingkup sendiri seperti bidang studi lain, di samping memiliki riset, teori-teori dan prinsip. Perkembangan selanjutnya ialah tumbuh laboraturium di Teachers College, Columbia University yang mengkaji kurikulum sebagai suatu inovasi.

3.    Kurikulum dan Pembelajaran
       Olivia memerinci bahwa kurikulum bersifat programmatic, menyangkut program, rencana, konten, dan pengalaman belajar; sedangkan pengajaran bernuansa methodological, terkait metodologi, strategi, teknik pengajaran, implementasi dan presentasi program, rencana atau konten kurikulum tersebut. Parkay menegaskan kurikulum sebagai whats-nya sedangkan pengajaran adalah hows-nya. Namun dikarenakan ada perdebatan terkait penjelasan tersebut maka jurusan di banyak universitas di Amerika memadukan keduanya dengan istiliah Curriculum and Instruction.

4.    Definisi Non-Akademik
         Setiap stakeholders, pemerintah, orang tua dan guru memiliki kepentingan dan orientasi pendidikannya masing-masing. Brady dan Kennedy mengusulkan orientasi dan fungsi kurikulum yang mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan pendidikan individu siswa dan stakeholders penddikan (Tabel 2.1)








Orientasi
Fungsi Kurikulum Pengetahuan, Keterampilan dan Nilai-nilai yang:
Kultural
Mewariskan fondasi budaya masyarakat ke generasi berikut
Personal
Membeli siswa dengan kebutuhan pokok individu dan kelompok
Vokasional
Membekali siswa agar dapat berpartisipasi aktif dalam dunia kerja
Sosial
Memungkinkan siswa fungsional di masyarakat bagi kesejahteraan bersama
Ekonomi
Memungkinkan kemampuan individual siswa berkontribusi pada kemajuan bangsa/Negara secara keseluruhan

5.    Tantangan Definisi
         Perdebatan mengenai kurikulum dinilai menghabiskan energy sehingga masalah dan isu yang esensial dan subtantif, riset serta isu-isu praktis kurikulum terabaikan.Tetapi, variasi pandangan para ahli tentang definisi kurikulum membuka pikiran tentang betapa luasnya cakupan  dan beragamnya cara pandang dan anlisis bidang studi kurikulum.

     Lary Cuban dan Alfie Kohn menyatakan bahwa dunia pendidikan yang  tergantung banyak tes,kurikulum telah menjadi sempit dan hambar (bland). Mata pelajaran tertentu seperti membaca dan matematika, diutamakan dengan mengorbankan mata pelajaran yang mengandung nilai-nilai moral, kreativitas dan emosi.

    Buku ini memilih satu definisi yang diajukan Parkay sebagai berikut: Kurikulum mencakup semua pengalaman pendidikan yang dimiliki siswa melalui program pendidikan yang telah diikutinya untuk mencapai tujuan umumdan tujuan khusus kurikulum yang telah dikembangkan berdasarkan kerangka teori dan riset dahulu dan praktik professional kini, serta perubahan kebutuhan masyarakat.

B.   Dasar-dasar (Fondasi) Kurikulum
      Fondasi kurikulum adalah kekuatanutama yang mempengaruhi kurikulum sehingga membentuk pokok pikiran pengembang kurikulum termasuk konten dan struktur kurikulum yang mereka susun.

    Buku ini memaparkan empat fondasi utama kurikulum: (1) fondasi filosofis, (2) fondasi historis, (3) fondasi sosiologis, dan (4) fondasi psikologis dan teori belajar. Fondasi itu sering juga disebuut dalam literatur sebagai sumber-sumber penentu kurikulum.

C.   Pendekatan Kurikulum
1.    Pendekatan Teknikal/Saintifik
Pendekatan Behavioral, mengharuskan kurikulum memiliki tujuan sebagai target kurikulum. Pendekatan ini menurut William Pinar selain bersifat logis, juga konseptuaal-empiris, eksperimental dan teknokratis. Beberapa pengkritik menyebut pendekatan ini machine theory. Pengaruh prinsip ini di sekolah terlihat, antara lain, pada penghilangan kelas-kelas kecil, peningkatan rasio guru-siswa, pengurangan gaji guru dan pengurangan biaya operasional sekolah. sasarannya ilah untuk menjaga agar pengajaran dan pembelajaran dilakukan secara terukur dan sangat efisien.

Pendekatan Manajerial, Pendidik yang menganut pendekatan manajerial memandang kurikulum dalam pengertian luas dan mereka peduli pada sistem sekolah secara keseluruhan, bukan hanya pada kelas atau mata pelajaran tertentu saja.         Mereka merancang kurikulum dalam bentuk program, jadwal, ruang sekolah, mengelola sumber daya, peralatan pembelajaran serta personel sekolah. Mungkin saja membentuk komite dan kelompok kerja sehingga relasi harmonis antar warga sekolah merupakan faktor penting dalam melakukan berbagai kegiatan bagi pengambilan keputusan kurikuler. Pendekatan ini akrab dengan ide inovasi dan cara bagaimana ahli kurikulum, supervisor dan administrator memfasilitasi perubahan kurikulum yang positif.

Pendekatan akademik, terlihat pada kurikulum yang fokus pada hakikat dan struktur ilmu pengetahuan seperti post modern akademik. Artinya, perhatian pakar fokus pada bagaimana pengetahuan dikonstruksi, didekonstruksi dan direkonstruksi. Dengan demikian sekolah harus memahami bidang studi kurikulum.

2.    Pendekatan Nonteknikal/Nonsaintifik
Pendekatan humanistik, Meletakkan siswa sebagai subjek pembelajaran, dan karena itu, perlu kurikulum yang memfasilitasi perkembangan anak secara utuh, bukan hanya bagi pengembangan aspek kognitifnya saja. Pendekatan ini menerapkan pembelajaran kooperatif, belajar mandiri, grup-kecil, dan kegiatan belajar sosial daripada pembelajaran kompetitif yang didominasi guru dalam kelas besar.

Pendidikan rekonsepsualis,fokus pada isu pendidikan ideologis secara luas. Pengembangan kurikulum bukan suatu sistem tertutup, tetapi selalu terbuka untuk didiskusikan.

D.  Definisi Kurikulum Komprehensif
        Definisi kurikulum dalam buku ini meletakkan siswa sebagai aktor atas kualitas pembelajaran yang dimiliki siswa. Kualitas pembelajaran itu merupakan hasil implementasi rancangan kurikulum dalam proses pembelajaran, bukan hanya yang didesain berdasarkan pertimbangan teknis penyusunan kurikulum saja, tetapi juga berdasar hasil penelitian, pengalaman praktisi pendidikan, serta teor-teori belajar yang relevan, seperti hakikat belajar dan perkembangan manusia, serta kebutuhan dan kecendrungan masa depan yang cepat berubah.


Dirangkum dari
Sumber:Ansyar, Mohammad.2017. KURIKULUM Hakikat, Fondasi, Desain dan Pengembangan. Jakarta: Penerbit Kencana