Sabtu, 28 April 2018

Pameran Fotografi : Ngudoroso


  Tugas-tugas kuliah dan program kerja organisasi sedang ngebut-ngebutnya kejar setoran sebelum bulan Ramadhan. Mau coba refreshing jalan-jalan ke tempat yang agak jauh, uang, tenaga dan waktu yang ada tidak mencukupi. Beruntung ada Mas Pace, teman KKN yang sedang sibuk sebagai panitia pameran fotografi di Kampus. Jadilah saya mampir ke sana untuk menghilangkan kepenatan dan menyegarkan pikiran.

            Pameran yang diadakan oleh jurusan Jurnalistik-FIDKOM ini berjudul Ngudoroso yang kurang lebih maknanya adalah berbagi rasa. Seperti yang tertulis dalam prakata pameran, selain untuk memenuhi format penilaian mata kuliah fotografi, pameran ini juga mengekspresikan nilai-nilai yang diyakini dan diperjuangkan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat. Tidak heran, tema-tema foto yang ditampilkan cukup beragam dan menggugah rasa.

            Ditemani oleh Mas guide yang juga teman Mas Pace, saya menelusuri sekat per sekat foto disana. Foto-foto yang ditampilkan telah melalui proses pemilihan yang cermat dari pihak panitia. Alhasil terpilihlah 39 fotografer yang karyanya diapresiasi dalam pameran ini. Dengan caption yang tercantum di sisi-sisi foto ditambah penjelasan dan diskusi ringan dari Mas guide, saya yang awam dengan dunia fotografi jadi lebih memahami makna yang hendak disampaikan oleh sang fotografer.



Cina Benteng – Hardi Yuantoro
Tempat tinggal keturunan Tionghoa yang akan dialihkan untuk pembuatan jalan tol


Tua yang Bekerja – Umi Lailatul
Orang-orang yang usianya sudah melewati batas usia angkatan kerja namun tetap gigih mencari nafkah



Kudapan Lawas – Arya
Kudapan tradisional yang dijajakan oleh pedagang kaki lima namun di tata dengan kemasan yang lebih modern



Taman Sebagai Revitalisasi Ruang Publik – Atikah
Kebutuhan warga akan taman sebagai ruang untuk berekreasi



Sisa-sisa Kerajaan Banten yang Tak Terawat – Eka Nurbaeti
Peninggalan sejarah yang penuh dengan coretan tidak bertanggung jawab, sampah dan ilalang liar yang meninggi.


Pelanggar Lalu Lintas – Rita
Menyoroti para pelanggar undang-undang perlalu-lintasan di Ibu Kota




Terbang dengan Paramotor – Salicha
Sebuah alat yang mampu mewujudkan mimpi manusia untuk terbang, messkipun bisa dibeli secara bebas, namun hendaknya tetap disertai dengan lisensi agar tidak menganggu lalu lintas pesawat


Slaughter ta cullinary – Farihatun
Rumah potong hewan yang biasa menjagal babi dan mengolahnya menjadi siomay.


Wayang Uwuh – Faizah
Wayang yang dibuat dari barang-barang bekas



Sekat-sekat pameran


Para Fotografer



Berpose di Pameran Fotografi tapi terkesan seperti berfoto di sebuah rumah makan atau pameran kuliner 

Rabu, 25 April 2018

Sinopsis Film I am Sam



            Film ini dimulai dengan menampilkan Sam, seorang pegawai Starbuck’s yang mengidap Keterbelakangan pikiran (cara berpikir setara dengan anak berusia tujuh tahun). Ia terus berusaha mengingat pada jam berapa  ia harus melakukan suatu hal di hari itu. Sampai tiba saatnya, ia pergi ke rumah sakit menemui Rebecca,  teman perempuannya yang sedang melahirkan. Dokter mengabarkan bahwa bayi tersebut perempuan, Sam kemudian memberinya nama Lucy. Tidak lama setelah itu, Rebecca  pergi menghilang, meninggalkan seorang ayah yang Tunagrahita bersama seorang bayi perempuan.
            Sam kewalahan mengurus Lucy yang terus menangis, kemudian Annie tetangga dekat Sam mengulurkan bantuan untuk merawat Lucy bahkan ketika Sam pergi bekerja. Pada suatu malam teman-teman Sam yang juga tunagrahita datang berkunjung ke rumah Sam untuk menonton video. Mereka memiliki beberapa kegiatan rutin yang dilakukan bersama-sama.
            Hari-hari Sam dan Lucy terlihat sangat menyenangkan meskipun ada beberapa masalah yang terjadi di antara mereka. Suatu hari Lucy mengatakan bahwa Sam tidak seperti ayah lain, tapi ia beruntung memiliki ayah yang bisa bermain bersama di Taman.  Sam menginginkan menu yang sama setiap harinya di tempat yang sama namun Lucy ingin mencoba menu baru disebuah restoran, kemudian sedikit keributan terjadi saat Sam tidak mendapat menu yang ia inginkan di restoran  baru tersebut. Sam selalu mendukung kegiatan sekolah Lucy, ia juga selalu membacakan buku sebelum tidur untuk Lucy, tetapi suatu malam Sam kesulitan untuk membaca suatu kata yang rumit dan Lucy pun enggan untuk melanjutkan bacaan tersebut.
            Pihak sekolah memanggil Sam untuk berdiskusi tentang perkembangan Lucy, berdasarkan pengamatan sekolah proses belajar Lucy tidak terlalu baik, ia cenderung tertutup dan tak mau berusaha untuk berkembang lebih baik. Teman-teman Lucy pun menertawakan dan mengejek Sam. Lucy terlihat murung akhir-akhir ini, meskipun begitu Sam terus memberikan yang terbaik dan memotivasi Lucy untuk terus belajar. Sampai Sam dengan tidak sengaja digoda oleh seorang perempuan yang menyebabkan ia harus ditahan sementara di kantor polisi.
            Lembaga perlindungan anak dan keluarga mengkaji pengasuhan Sam yang pemikirannya terbelakang dengan Lucy yang menginjak usia tujuh tahun dan membutuhkan hal-hal yang akan sulit diberikan oleh Sam. Lucy dan Sam harus berpisah sampai waktu yang belum ditentukan. Hal ini terasa berat bagi keduanya, namun lembaga perlindungan mengatakan ini yang terbaik. Sam kemudian memohon jasa dari Rita, seorang pengacara yang handal dan bersedia memberikan penanganan secara gratis.
            Sam harus melakukan beberapa kali persidangan, menghadirkan beberapa saksi yang mampu membelanya untuk tetap tinggal bersama Lucy. Namun persidangan tersebut bukanlah hal yang mudah, teman-teman Sam tidak mampu menyampaikan kesaksiannya dengan baik. Orang-orang yang mengidap tunagrahita cenderung memaksa, kesulitan menahan emosi dan berkomunikasi  akibat intektualitasnya yang rendah. Sementara para saksi ahli dan Lembaga perlindungan anak terus mengkhawatirkan kemampuan Sam dan menyarankan Lucy untuk tinggal bersama  orang Tua asuh.
            Di akhir Film, tidak diperlihatkan secara jelas apakah Lucy diasuh secara penuh oleh orang tua asuh, kembali dalam pengasuhan Sam atau pengasuhan yang berimbang dari keduanya. Namun semua orang senang Sam dapat bertemu kembali dengan Lucy, Teman-teman Sam, orang tua asuh Lucy dan Rita tertawa bersama saat Lucy berhasil menghasilkan goal saat pertandingan bola di lapangan sekolah.

Selasa, 17 April 2018

Pendidikan Agama Islam untuk Anak Tuna Grahita


A.                Pengertian Tunagrahita
Tunagrahita merupakan asal dari kata tuna yang berarti ‘merugi’ sedangkan grahita yang berarti ‘pikiran’. Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (Mental Retardation) yang artinya terbelakang mental. Tunagrahita juga memiliki istilah- istilah sebagai berikut :
a.                   Lemah fikiran (feeble minded).
b.                  Terbelakang mental (mentally retarded).
c.                   Bodoh atau dungu (idiot).
d.                  Cacat mental.
e.                   Mental Subnormal, dll.[1]
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak  yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Dalam kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah mental retasdation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dan lain-lain. Istilah  tersebut sesungguhnya mempunyai arti yang sama yang menjelaskan kondisi anak yang kecerdasanya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Anak  tungrahita atau dikenal juga dengan istilah keterbelakangan mental karena keterbatasan kecerdasanya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program penddikan disekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut.[2]

B.                 Klasifikasi Anak Tunagrahita
Banyak pengarang dan para ahli mengklasifikasikan anak tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan bidang ilmu dan pandangannya masing-masing.
a. Menurut AAMD dan PP No 72 Tahun 1991
1) Tunagrahita ringan
Mereka yang termasuk dalam kelompok ini meskipun kecerdasannya dan adaptasi sosialnya terhambat, namun mereka mempuyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial dan bekerja.
2) Tunagrahita sedang
Mereka yang termasuk dalam kelompok tunagrahita sedang memiliki kemampuan intelektual umum dan adaptasi perilaku di bawah tunagrahita ringan. Mereka dapat belajar ketrampilan sekolah untuk tujuan-tujuan fungsional, mencapai suatu tingkat “ tanggung jawab sosial”, dan mencapai penyesuaian sebagai pekerja dengan bantuan.
3) Tunagrahita berat dan sangat berat
Anak yang tergolong dalam kelompok ini pada umumnya hampir tidak memiliki kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri, melakukan sosialisasi dan bekrja.[3]
C.                Karakteristik Anak Tunagrahita.
Pembuatan program dalam melaksanakan layanan pendidikan bagi anak tunagrahita seyogianya para guru/pendidik mengenali karakteristik dan permasalahan anak tunagrahita sebagaimana telah dikemukakan dalam klasifikasi tersebut.  Karakteristik anak tunagrahita adalah:
1)        Perkembangan senantiasa tertinggal dibanding teman sebayanya.
2)        Tidak mengubah cara hidupnya, ia cenderung rutin.
3)        Perhatiannya tidak dapat bertahan lama, amat singkat.
4)        Kemampuan berbahasa dan berkomunikasinya terbatas, umumnya anak gagap.
5)        Sering tidak mampu menolong diri sendiri.
6)        Motif belajarnya rendah sekali.
7)        Irama perkembangannya tidak rapi, suatu saat meningkat tinggi, tapi saat yang lain menurun drastis.
8)        Tidak peduli pada lingkungan.
Beberapa uraian pendapat dari para ahli di atas menunjukkan kepada kita suatu kesimpulan tentang karakteristik anak tunagrahita. Sikap-sikap tersebut menunjukkan tingkat kecerdasan yang dimiliki anak tunagrahita yang rendah atau lebih rendah daripada anak normal yang mengalami tahap perkembangan pada umumnya. Oleh karena itulah mereka disebut sebagai anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan perhatian dan bimbingan yang lebih terutama dalam pendidikannya demi kebaikan dan kelangsungan hidupnya di masa depan.
D.                Perkembangan Fisik Anak Tunagrahita
Fungsi-fungsi perkembangan anak tunagrahita tu ada yang tertinggal jauh oleh anak normal. Ada pula yang sama atau hampir menyamai anak normal. Di antara fungsi-fungsi yang menyamai atau hampir menyamai anak normal ialah fungsi perkembangan jasmani dan motorik.
Perkembangan jasmani dan motoric anak tunagrahita tidak secepat perkembangan anak normal. Hasl penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesegaran jasmani anak terbelakang mental atau tunagrahita yang memiliki MA 2-12 tahun ada dalam kategori kurang sekali. Sedangkan anak normal paa umur yang sama ada dalam kategori kurang . dengan demikian tingkat kesegaran jasmani anak tunagharita setingkat lebih rendah dibandingkan dengan anak normal pada umur yang sama.


Ø    Locomotoric skill, meliputi:
-                      Functional run
-                      Functional leap
-                      Functional horizontal jump
-                      Functionalvertical jump
-                      Functional hop
-                      Functional gallop
-                      Functional slide
-                      Functional skip


Ø    Object control, meliputi:
-                      Functional underhand roll
-                      Functional underhand throw
-                      Functional overhand throw
-                      Functional kick
-                      Functional continuous bounce
-                      Functional catch
-                      Functional underhand strike
-                      Functional overhand strike
-                      Functional forehand strike
-                      Functional backhand strike
-                      Functional two-handed strike


Ø    Rhytmic skill:
-                      Functional movement to an even beat
-                      Functional movement to uneven beat
-                      Accent and phrasing
-                      Imitate movement
-                      Communication
Mempelajari bentuk-bentuk gerak fungsional merupakan dasar bagi semua keterampilan gerak yang lain. keterampilan gerak fungsional memberikan dasar-dasar keterampilan yang diperlukan untuk socio-leisure, daily living dan vocation tasks. Keterampilan gerak fundamental sangat penting untul meningkatkan kualitas hidup anak tunagrahita. Anak normal dapat belajar keterampilan gerak-gerak fundamental secara instingtif pada saat bermain, sementara anak tunagrahita perlu dilatih secara khusus. Karena itu, penting bagi guru untuk memprogramkan latihan-latihan gerak fundamental dalam pendidikan anak tunagrahita.
E.                 Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita
Kognisi meliputi proses di mana pengetahuan itu diperoleh, disimpan, dan dimanfaatkan. Jika terjadi gangguan perkembangan intelektual maka akan tercermin pada satu atau beberapa proses kognitif, seperti persepsi, memori, pemunculan ide-ide, evaluasi, dan penalaran. Dalam hal kecepatan belajar anak tunagrahita jauh ketinggalan oleh anak normal. Untuk mencapai kriteria-kriteria yang dicapai oleh anak normal, anak tunagrahita lebih banyak memerluka ulangan tentang bahan tersebut.
Berkenaan dengan memori, anak tunagrahita berbeda dengan anak normal pada ingatan jangka pendek. Namun jika pada ingatan jangka panjang anak tunagrahita tidak berbeda halnya dengan anak normal, daya ingatnya sama. Fleksibilitas mental yang kurang pada anak tunagrahita mengakibatkan kesulitan dalam pengorganisasian bahan yang akan dipelajari. Oleh karena itu sukar bagi anak tunagrahita untuk menangkap informasi yang kompleks.[4]

F.                 Perkembangan Afektif Anak Tunagrahita
Perkembangan afektif atau emosional berkaitan dengan derajat ketunagrahitaan seorang anak. Anak tunagrahita berat tidak dapat menunjukkan dorongan pemiliharaan dirinya sendiri. Cenderung tidak bisa menunjukkan rasa lapar atau haus dan tidak dapat menghindari bahaya. Pada anak tunagrahita sedang, dorongan berkembang lebih baik tetapi kehidupan emosinya terbatas pada emosi-emosi yang sederhana. Pada anak tunagrahita ringan, kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan anak normal, akan tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita dapat memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu. Bisa mengekspresikan kegembiraan tetapi sulit mengungkapkan kekaguman.
Kanak-kanak dan penyesuaian sosial merupakan proses yang saling berkaitan. Kepribadian sosial mencerminkan cara orang tersebut berinteraksi dengan lingkungan. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman penyesuaian diri sangat besar pengaruhnya terhadap kepribadian. Dalam kepribadian tercakup susunan fisik, karakter emosi, serta karakteristik sosial seseorang. Di dalamnya juga tercakup cara-cara memberikan respon terhadap rangsangan yang datangnya dari dalam maupun dari luar, baik rangsangan fisik maupun sosial. Anak-anak tunagrahita mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan dalam kepribadian akan berakibat pada proses penyesuaian diri.[5]

G.                Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
Bahasa didefinisikan ole Myklebust sebagai perilaku simbolik mencangkup kemampuan mengikhtisarkan, mengikatkan kata-kata dengan arti, dan menggunakannya sebagai simbol untuk berfikir dan mengekspresikan ide, maksud, dan perasaan.
1.                  Inner Language
Inner language adalah aspek bahasa yang pertama berkembang. Muncul kira-kira pada usia 6 bulan. Tahap berikut dari perkembangan inner language adalah anak dapat memahami hubungan-hubungan yang lebih kompleks dan dapat bermain dengan mainan dalam situasi yang bermakna.
2.                  Receptive Language
Setelah inner language berkembang, maka tahap berikutnya adalah receptive language. Anak pada usia kira-kira 8 bulan mulai mengerti sedikit-sedikit tentang apa yang dikatakan orang lain kepadanya. Anak mulai merespon apabila namanya dipanggil dan mulai sedikit mengerti perintah. Terdapat hubungan timbal balik antara inner language dengan receptive language.  Perkembangan inner language melewati fase pembentukan konsep-konsep sederhana menjadi tergantung kepada pemahaman dan receptive language.
3.                  Expressive Language
Aspek terakhir dari perkembangan bahasa adalah bahasa ekspresif (expressive language) menurut Myklebust expressive language berkembang setelah pemantapan pemahaman. Bahasa ekspresif anak muncul pada usia kira-kira satu tahun. Perkembangan bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kongnisi, keduanya mempunyai timbal balik. Perkembangan kongnisi anak tunagrahita mengalami hambatan, karenanya perkembangan bahasanya juga akan terhambat.[6]

H.                Perkembangan Sosial Anak Tunagrahita
Hurlock mendefinisikan perkembangan sosial sebagai perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Individu ini diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang dapat diterima dan sesuai dengan standar yang berlaku dalam suatu kelompok tertentu.[7]
Anak tunagrahita mengalami kesukaran dalam berinteraksi dengan orang lain karena keterbatasan intelektual. Keterbatasan intelektual mengakibatkan anak tunagrahita mengalami kesulitan mempelajari norma-norma yang berlaku di masyarakat dan berimbas pada kegagalan dalam penyesuaian sosial.
Ketidakmapuan anak tunagrahita melakukan interaksi sosial tidak hanya disebabkan oleh keterbatasan intelektual, tetapi faktor lingkungan juga mempengaruhi cara anak tunagrahita dalam melakukan interaksi sosial. Lingkungan tersebut tidak hanya lingkungan kelas dan sekolah, tetapi juga diri anak sendiri, keluarga, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan perkembangan anak. Menurut Kemis dan Ati Rosnawati kehadiran seorang anak tunagrahita dalam keluarga cenderung menimbulkan ketegangan pada keluarga tersebut. Ketika mengetahui anaknya tergolong tunagrahita, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah dan kecewa yang mendalam. Dampak ketegangan tersebut membuat orang tua menolak kehadiran anak tunagrahita atau mungkin memberikan perlindungan yang berlebihan kepada anak tunagrahita. Sikap orang tua yang seperti itu mengakibatkan masalah perilaku dan emosi pada anak tunagrahita.
Suparno menjelaskan bahwa anak tunagrahita tingkat ringan mampu menyesuaikan diri pada lingkungan sosial yang lebih luas. Anak tunagrahita sedang mampu mengurus dirinya sendiri, mampu melakukan adaptasi sosial di lingkungan terdekat, dan mampu bekerja di tempat terlindung/di bawah pengawasan. Sedangkan anak tunagrahita berat dan sangat berat selalu tergantung dengan bantuan dan perawatan orang lain.

I.                   Penyebab Tunagrahita
Secara umum, terjadinya kecacatan disebabkan 2 faktor utama, yaitu faktor dari dalam (endogen) dan faktor dari luar (eksogen). Faktor dalam berarti, anak menderita kecacatan sejak dalam kandungan. Kecacatan seperti ini bisa disebabkan oleh virus, gangguan emosi, pengaruh merokok, salah obat, atau minum-minuman keras pada saat mengandung. Sedangkan faktor dari luar berarti, anak menderita kecacatan setelah lahir kedunia termasuk lahir prematur, operasi saat melahirkan, atau kesalahan teknis yang dilakukan oleh para medis pada saat melahirkan (misalnya ditarik untuk membantu persalinan). Disamping itu dapat juga disebabkan kecelakaan, luka diotak, gangguan psikologis, atau pengaruh lingkungan.[8]

J.                  Model Pendidikan Bagi Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita sangat memerlukan pendidikan serta layanan khusus yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ada beberapa pendidikan dan layanan khusus yang disediakan untuk anak tunagrahita, yaitu:
1.                  Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus termasuk anak tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada disekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.
2.                  Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari penuh di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.
3.                  Pendidikan Terpadu
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang termasuk kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (Slow Learner).
4.                  Program Sekolah di Rumah
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orangtua sekolah, dan masyarakat.
5.                  Pendidikan Inklusif
Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan Inklusif. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip Education for All. Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) orang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersenut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan inklusif masih dalam tahap rintisan.
6.                  Panti (Griya) Rehabilitasi
Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda seperti penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program di panti lebih terfokus pada perawatan. Pengembangan dalam panti ini terbatas dalam hal :
a.                   Pengenalan diri.
b.                  Sensorimotor dan persepsi.
c.                   Motorik kasar dan ambulasi (pindah dari satu temapt ke tempat lain).
d.                  Kemampuan berbahasa dan dan komunikasi.
e.                   Bina diri dan kemampuan sosial.[9]
J.                   Metode
Penciptaan ruang dalam yang dapat mendukung pendidikan anak tunagrahita. Jika pemahaman terhadap karakteristik anak tunagrahita telah dicapai maka adapula beberapa faktor yang berpengaruh di dalam penataan ruang dalam. Penataan ruang dalam yang baik dan sesuai dapat memacu komunikasi dan interaksi antar pengguna dan tentunya hal ini akan memberikan pengaruh yang positif terhadap hubungan antara anak tunagrahita dengan guru dan anak tunagrahita dengan lingkungan sekitarnya.
1.                  Pemilihan Material.
Dari berbagai karakteristik perilaku anak tunagrahita, tantrum merupakan hal yang sangat berbahaya dan dominan terjadi pada anak autis, yaitu tindakan anak autis yang mengamuk, menggigit, memukul, mencakar atau bahkan melukai dirinya sendiri, seperti membenturkan kepala ke dinding atau meja secara berulang-ulang. Memiliki sensitivitas terhadap benda tekstur yang tajam, keras, dan kasar. Namun, hal ini dapat diatasi dengan memilih dan menggunakan material yang aman dan tidak berbahaya bagi anak autis. Misalnya dengan pemakaian material yang lunak pada penutup bidang dasar bagian ruang seperti dinding dan lantai dilapisi dengan busa, karpet, atau matras. Memiliki sensitifitas terhadap bunyi-bunyian atau suara bising. Maka pada ruang tertentu digunakan peredam suara pada dinding agar anak dapat berkonsentrasi dan fokus atau dinding dapat pula dilapisi dengan karpet sebagai peredam kebisingan ruang luar. Dan khusus ruang tantrum atau ruang mengamuk, dinding dan lantai ruang tersebut harus dilapisi dengan matras agar tidak terjadi kecelakaan pada anak autis yang tantrum.
2.                  Penataan Layout Ruang Dalam.
Ruang dengan fungsi belajar bagi anak tunagrahita sebaiknya ditata dengan memperhatikan kebutuhan dari masing-masing pengguna/pelaku. Dengan pengaturan tidak adanya benda-benda elektronik di dalam ruangan kecuali untuk keperluan tertentu dan dengan pengawasan terapis atau pendidik. Rak atau lemari untuk menyimpan barang-barang harus diletakkan lebih tinggi dari jangkauan anak. Perabot yang digunakan sebagai media belajar seperti meja dan kursi belajar harus sesuai dengan karakter anak tunagrahita, yaitu kursi dan meja sebaiknya dibuat dari bahan yang berat sehingga tidak mudah untuk digeser dan diangkat anak, misalnya bahan kayu, dengan ukuran sesuai tinggi dan berat masing-masing anak.
3.                  Pemilihan Warna
Warna sangat berperan penting di dalam perkembangan psikologis seseorang, terutama anak-anak. Dengan warna dapat tercipta suasana yang ingin ditonjolkan pada masing-masing ruang dan dampak psikologis apa yang ingin diperoleh. Dengan kata lain, permainan warna juga dapat membantu proses terapi penyembuhan dan proses belajar anak autis. Dapat dikaji, misalnya untuk anak dengan karakteristik perilaku yang hiperaktif warna-warna yang menenangkan dan sejuk sebaiknya diutamakan dan digunakan dalam ruang terapi. Sebaliknya, bagi anak yang hipoaktif warna-warna cerah lebih dianjurkan karena dapat meningkatkan gairah dan semangat dalam melakukan komunikasi dan interaksi. Jadi, dapat dibuat dua ruang yang berbeda sehingga tersedia ruang masing-masing untuk anak hiperatif dan hipoaktif.[10]


HASIL DAN ANALISIS HASIL STUDI LAPANGAN

Laporan Observasi
Nama Sekolah             : SLB N 02 JAKARTA
Alamat Sekolah           : Jl. Medis No. 49 RT 07/05, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta   Selatan
Nama Narasumber      : Ibu Mafrudhoh S.Pdi

Dalam studi lapangan kami hanya melakukannya satu kali, yaitu pada Hari Rabu, 11 April 2018 di SLB Negeri 02 Jakarta yang beralamat di Jl. Medis No. 49 RT 07/05, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sekolah tersebut merupakan pendidikan formal dan yang memiliki jenjang pendidikan, yakni dimulai dari SD, SMP, dan SMA. Secara keseluruhan, disana terdapat 75 guru dan staff, serta terdapat 50 rombongan belajar (rombel) dari jenjang SD sampai dengan SMA dan dari setiap rombongan belajar berisi 6-8 siswa.

Sekolah tersebut memiliki kondisi yang cukup baik dan kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar, dan juga dilengkapi dengan fasilitas yang memadai untuk menunjang pembelajaran baik dari segi sarana dan prasarananya. Beberapa fasilitas yang memadai untuk siswa berkebutuhan khusus (Tuna Grahita) yaitu adanya ruang bina diri dan ruang dapur, dimana pada tempat tersebut siswa diajarkan mengenai keterampilan dasar kehidupan seperti menjahit, menyulam, memasak, dsb.

Disana kami menemui ibu Mafrudhoh selaku narasumber sekaligus guru PAI di sekolah tersebut. Sebenarnya disana terdapat 4 guru PAI, akan tetapi kami diarahkan untuk bertemu dengan Ibu Mafrudhoh. Ibu Mafrudhoh merupakan satu-satunya guru PAI yang sudah PNS dan mendapat bimbingan belajar mengenai ABK selama 1 Tahun, disamping itu beliau juga belajar secara otodidak.

Karakteristik siswa yang bersekolah di sekolah tersebut merupakan tuna rungu dan tuna grahita, bahkan lebih banyak jumlah siswa tuna grahita daripada jumlah siswa tuna rungu. Kategori tuna grahita yang berada di sekolah ini yaitu tuna grahita taraf ringan dan taraf sedang. Menurut narasumber, siswa-siswa tersebut (tuna grahita) memiliki IQ yang rendah dan rata-rata dibawah 100 sehingga mereka tidak dapat memahami esensi dari materi yang dipelajari. Oleh karena itu, guru memulai pembelajaran PAI dengan mengaitkan fenomena atau pengalaman siswa dengan materi yang akan dibahas dan juga dilakukan pembiasaan diri yang bekerja sama dengan wali murid. Sebagai contoh, materi thaharah (bersuci), guru terlebih dahulu mengajak siswa untuk sharing (berbagi) mengenai masalah bersuci yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. kemudian secara perlahan guru menjelaskan isi materi dengan bahasa yang mudah dimengerti. Menurut beliau “Materi yang disampaikan akan mengenai anak apabila anak merasa nyaman, dan kenyamanan itu dapat dibangun melalui sharing”. Berdasarkan pernyataan tersebut, beliau menggunakan metode sharing dan dialog dalam pembelajaran.

Dalam pelaksanaan pembelajaran PAI, guru mengacu kepada kurikulum 2013 untuk SLB. Dan aspek yang lebih ditekankan yaitu aspek afetktif serta evaluasi yang dilakukan lebih kepada perilaku atau sikap yang mereka tunjukan. Prosedur kenaikan kelas di sekolah tersebut dilaksanakan berdasarkan nilai keseharian (nilai sikap) dan siswa pasti naik kelas.





DAFTAR PUSTAKA

Yosiani, Novita , Relasi Karakteristik Anak Tunagrahita Dengan Pola Tata Ruang Belajar Di Sekolah Luar Biasa, E-Journal Graduate Unpar Part D – Architecture Vol. 1, No. 2 (2014)
Somantri,  Sutjihati, Psikologi Anak Luar biasa, Bandung: Refika Aditama, 2006
Smart,  Aqila, Anak Cacat Bukan Kiamat, Jogjakarta: Ar Ruzz media, 2010
Joppy Liando & Aldjo Dapa, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Perspektif Sistem Sosial, Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti Direktorak Ketenagaan, 2007
Tarigan, Beltasar, Penjaskes Adaptif, Jakarta: Depdiknas, 2000
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (diakses pada Kamis,12  April 2018)
http://seputarpengertian.blogspot.co.id (diakses pada Kamis, 12 April 2018)




[1] Novita Yosiani, Relasi Karakteristik Anak Tunagrahita Dengan Pola Tata Ruang Belajar Di Sekolah Luar Biasa, E-Journal Graduate Unpar Part D – Architecture Vol. 1, No. 2 (2014)
[2] Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar biasa, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 103
[3] Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat, (Jogjakarta: Ar Ruzz media, 2010), hal. 22-40
[4] Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 110
[5] Ibid, hal. 115
[6] Ibid, hal. 113-114
[7] Joppy Liando & Aldjo Dapa, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Perspektif Sistem Sosial, (Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti Direktorak Ketenagaan, 2007), hal.25
[8] Beltasar Tarigan, Penjaskes Adaptif, (Jakarta: Depdiknas, 2000), hal. 34
[9] Novita Yosiani, Relasi Karakteristik Anak Tunagrahita Dengan Pola Tata Ruang Belajar Di Sekolah Luar Biasa, E-Journal Graduate Unpar Part D – Architecture Vol. 1, No. 2 (2014)
[10] Novita Yosiani, Relasi Karakteristik Anak Tunagrahita Dengan Pola Tata Ruang Belajar Di Sekolah Luar Biasa, E-Journal Graduate Unpar Part D – Architecture Vol. 1, No. 2 (2014)
[11] Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (diakses pada Kamis,12  April 2018)
[12] http://seputarpengertian.blogspot.co.id (diakses pada Kamis, 12 April 2018)