A.
Pengertian
Tunagrahita
Tunagrahita merupakan asal
dari kata tuna yang berarti ‘merugi’ sedangkan grahita yang berarti ‘pikiran’. Tunagrahita
merupakan kata lain dari Retardasi Mental (Mental Retardation) yang artinya
terbelakang mental. Tunagrahita juga memiliki istilah- istilah sebagai berikut
:
a.
Lemah fikiran (feeble minded).
b.
Terbelakang mental (mentally retarded).
c.
Bodoh atau dungu (idiot).
d.
Cacat mental.
e.
Mental Subnormal, dll.[1]
Tunagrahita adalah
istilah yang digunakan untuk menyebut anak
yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Dalam
kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah mental retasdation,
mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dan lain-lain.
Istilah tersebut sesungguhnya mempunyai
arti yang sama yang menjelaskan kondisi anak yang kecerdasanya jauh di bawah
rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam
interaksi sosial. Anak tungrahita atau
dikenal juga dengan istilah keterbelakangan mental karena keterbatasan
kecerdasanya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program penddikan
disekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak terbelakang mental
membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan
anak tersebut.[2]
B.
Klasifikasi
Anak Tunagrahita
Banyak pengarang dan
para ahli mengklasifikasikan anak tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan bidang
ilmu dan pandangannya masing-masing.
a. Menurut AAMD dan PP
No 72 Tahun 1991
1) Tunagrahita ringan
Mereka yang termasuk
dalam kelompok ini meskipun kecerdasannya dan adaptasi sosialnya terhambat,
namun mereka mempuyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran
akademik, penyesuaian sosial dan bekerja.
2) Tunagrahita sedang
Mereka yang termasuk
dalam kelompok tunagrahita sedang memiliki kemampuan intelektual umum dan
adaptasi perilaku di bawah tunagrahita ringan. Mereka dapat belajar ketrampilan
sekolah untuk tujuan-tujuan fungsional, mencapai suatu tingkat “ tanggung jawab
sosial”, dan mencapai penyesuaian sebagai pekerja dengan bantuan.
3) Tunagrahita berat
dan sangat berat
Anak yang tergolong
dalam kelompok ini pada umumnya hampir tidak memiliki kemampuan untuk dilatih
mengurus diri sendiri, melakukan sosialisasi dan bekrja.[3]
C.
Karakteristik
Anak Tunagrahita.
Pembuatan program dalam
melaksanakan layanan pendidikan bagi anak tunagrahita seyogianya para
guru/pendidik mengenali karakteristik dan permasalahan anak tunagrahita
sebagaimana telah dikemukakan dalam klasifikasi tersebut. Karakteristik anak tunagrahita adalah:
1)
Perkembangan
senantiasa tertinggal dibanding teman sebayanya.
2)
Tidak mengubah
cara hidupnya, ia cenderung rutin.
3)
Perhatiannya tidak
dapat bertahan lama, amat singkat.
4)
Kemampuan
berbahasa dan berkomunikasinya terbatas, umumnya anak gagap.
5)
Sering tidak
mampu menolong diri sendiri.
6)
Motif belajarnya
rendah sekali.
7)
Irama
perkembangannya tidak rapi, suatu saat meningkat tinggi, tapi saat yang lain menurun
drastis.
8)
Tidak peduli
pada lingkungan.
Beberapa uraian
pendapat dari para ahli di atas menunjukkan kepada kita suatu kesimpulan
tentang karakteristik anak tunagrahita. Sikap-sikap tersebut menunjukkan
tingkat kecerdasan yang dimiliki anak tunagrahita yang rendah atau lebih rendah
daripada anak normal yang mengalami tahap perkembangan pada umumnya. Oleh
karena itulah mereka disebut sebagai anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan
perhatian dan bimbingan yang lebih terutama dalam pendidikannya demi kebaikan
dan kelangsungan hidupnya di masa depan.
D.
Perkembangan Fisik Anak Tunagrahita
Fungsi-fungsi perkembangan anak tunagrahita tu ada yang tertinggal jauh
oleh anak normal. Ada pula yang sama atau hampir menyamai anak normal. Di
antara fungsi-fungsi yang menyamai atau hampir menyamai anak normal ialah
fungsi perkembangan jasmani dan motorik.
Perkembangan jasmani dan motoric anak tunagrahita tidak secepat
perkembangan anak normal. Hasl penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesegaran
jasmani anak terbelakang mental atau tunagrahita yang memiliki MA 2-12 tahun
ada dalam kategori kurang sekali. Sedangkan anak normal paa umur yang sama ada
dalam kategori kurang . dengan demikian tingkat kesegaran jasmani anak tunagharita setingkat lebih rendah dibandingkan
dengan anak normal pada umur yang sama.
Ø
Locomotoric skill, meliputi:
-
Functional run
-
Functional leap
-
Functional horizontal jump
-
Functionalvertical jump
-
Functional hop
-
Functional gallop
-
Functional slide
-
Functional skip
Ø
Object control, meliputi:
-
Functional underhand roll
-
Functional underhand throw
-
Functional overhand throw
-
Functional kick
-
Functional continuous bounce
-
Functional catch
-
Functional underhand strike
-
Functional overhand strike
-
Functional forehand strike
-
Functional backhand strike
-
Functional two-handed strike
Ø Rhytmic skill:
-
Functional movement to an even beat
-
Functional movement to uneven beat
-
Accent and phrasing
-
Imitate movement
-
Communication
Mempelajari bentuk-bentuk gerak fungsional merupakan dasar bagi semua
keterampilan gerak yang lain. keterampilan gerak fungsional memberikan
dasar-dasar keterampilan yang diperlukan untuk socio-leisure, daily
living dan vocation tasks. Keterampilan gerak fundamental sangat
penting untul meningkatkan kualitas hidup anak tunagrahita. Anak normal dapat
belajar keterampilan gerak-gerak fundamental secara instingtif pada saat
bermain, sementara anak tunagrahita perlu dilatih secara khusus. Karena itu,
penting bagi guru untuk memprogramkan latihan-latihan gerak fundamental dalam
pendidikan anak tunagrahita.
E.
Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita
Kognisi meliputi proses di mana pengetahuan itu diperoleh, disimpan,
dan dimanfaatkan. Jika terjadi gangguan perkembangan intelektual maka akan
tercermin pada satu atau beberapa proses kognitif, seperti persepsi, memori,
pemunculan ide-ide, evaluasi, dan penalaran. Dalam hal kecepatan belajar anak
tunagrahita jauh ketinggalan oleh anak normal. Untuk mencapai kriteria-kriteria
yang dicapai oleh anak normal, anak tunagrahita lebih banyak memerluka ulangan
tentang bahan tersebut.
Berkenaan dengan memori, anak tunagrahita berbeda dengan anak normal
pada ingatan jangka pendek. Namun jika pada ingatan jangka panjang anak
tunagrahita tidak berbeda halnya dengan anak normal, daya ingatnya sama.
Fleksibilitas mental yang kurang pada anak tunagrahita mengakibatkan kesulitan
dalam pengorganisasian bahan yang akan
dipelajari. Oleh karena itu sukar bagi anak tunagrahita untuk menangkap
informasi yang kompleks.[4]
F.
Perkembangan
Afektif Anak Tunagrahita
Perkembangan afektif atau emosional berkaitan dengan derajat
ketunagrahitaan seorang anak. Anak tunagrahita berat tidak dapat menunjukkan
dorongan pemiliharaan dirinya sendiri. Cenderung tidak bisa menunjukkan rasa
lapar atau haus dan tidak dapat menghindari bahaya. Pada anak tunagrahita
sedang, dorongan berkembang lebih baik tetapi kehidupan emosinya terbatas pada
emosi-emosi yang sederhana. Pada anak tunagrahita ringan, kehidupan emosinya
tidak jauh berbeda dengan anak normal, akan tetapi tidak sekaya anak normal.
Anak tunagrahita dapat memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk
menggambarkan suasana terharu. Bisa mengekspresikan kegembiraan tetapi sulit
mengungkapkan kekaguman.
Kanak-kanak dan penyesuaian sosial merupakan proses yang saling
berkaitan. Kepribadian sosial mencerminkan cara orang tersebut berinteraksi
dengan lingkungan. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman penyesuaian diri sangat
besar pengaruhnya terhadap kepribadian. Dalam kepribadian tercakup susunan
fisik, karakter emosi, serta karakteristik sosial seseorang. Di dalamnya juga
tercakup cara-cara memberikan respon terhadap rangsangan yang datangnya dari
dalam maupun dari luar, baik rangsangan fisik maupun sosial. Anak-anak
tunagrahita mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan dalam kepribadian
akan berakibat pada proses penyesuaian diri.[5]
G.
Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
Bahasa didefinisikan
ole Myklebust sebagai perilaku simbolik mencangkup kemampuan mengikhtisarkan,
mengikatkan kata-kata dengan arti, dan menggunakannya sebagai simbol untuk
berfikir dan mengekspresikan ide, maksud, dan perasaan.
1.
Inner Language
Inner
language adalah aspek bahasa yang pertama berkembang. Muncul kira-kira
pada usia 6 bulan. Tahap berikut dari perkembangan inner language adalah
anak dapat memahami hubungan-hubungan yang lebih kompleks dan dapat bermain
dengan mainan dalam situasi yang bermakna.
2.
Receptive
Language
Setelah inner
language berkembang, maka tahap berikutnya adalah receptive language.
Anak pada usia kira-kira 8 bulan mulai mengerti sedikit-sedikit tentang apa
yang dikatakan orang lain kepadanya. Anak mulai merespon apabila namanya
dipanggil dan mulai sedikit mengerti perintah. Terdapat hubungan timbal balik
antara inner language dengan receptive language. Perkembangan inner language melewati
fase pembentukan konsep-konsep sederhana menjadi tergantung kepada pemahaman
dan receptive language.
3.
Expressive
Language
Aspek terakhir dari
perkembangan bahasa adalah bahasa ekspresif (expressive language) menurut
Myklebust expressive language berkembang setelah pemantapan pemahaman. Bahasa
ekspresif anak muncul pada usia kira-kira satu tahun. Perkembangan bahasa erat
kaitannya dengan perkembangan kongnisi, keduanya mempunyai timbal balik.
Perkembangan kongnisi anak tunagrahita mengalami hambatan, karenanya
perkembangan bahasanya juga akan terhambat.[6]
H.
Perkembangan
Sosial Anak
Tunagrahita
Hurlock mendefinisikan
perkembangan sosial sebagai perolehan kemampuan
berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Individu ini diarahkan untuk
mengembangkan tingkah laku yang dapat diterima dan sesuai dengan standar yang
berlaku dalam suatu kelompok tertentu.[7]
Anak tunagrahita mengalami kesukaran dalam berinteraksi dengan orang
lain karena keterbatasan intelektual. Keterbatasan intelektual mengakibatkan
anak tunagrahita mengalami kesulitan mempelajari norma-norma yang berlaku di
masyarakat dan berimbas pada kegagalan dalam penyesuaian sosial.
Ketidakmapuan anak tunagrahita melakukan interaksi sosial tidak hanya
disebabkan oleh keterbatasan intelektual, tetapi faktor lingkungan juga
mempengaruhi cara anak tunagrahita dalam melakukan interaksi sosial. Lingkungan
tersebut tidak hanya lingkungan kelas dan sekolah, tetapi juga diri anak
sendiri, keluarga, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan
perkembangan anak. Menurut Kemis dan Ati Rosnawati kehadiran seorang anak
tunagrahita dalam keluarga cenderung menimbulkan ketegangan pada keluarga
tersebut. Ketika mengetahui anaknya tergolong tunagrahita, orang tua pada
umumnya mengalami perasaan bersalah dan kecewa yang mendalam. Dampak ketegangan
tersebut membuat orang tua menolak kehadiran anak tunagrahita atau mungkin
memberikan perlindungan yang berlebihan kepada anak tunagrahita. Sikap orang
tua yang seperti itu mengakibatkan masalah perilaku dan emosi pada anak
tunagrahita.
Suparno menjelaskan bahwa anak tunagrahita tingkat ringan mampu
menyesuaikan diri pada lingkungan sosial yang lebih luas. Anak tunagrahita
sedang mampu mengurus dirinya sendiri, mampu melakukan adaptasi sosial di
lingkungan terdekat, dan mampu bekerja di tempat terlindung/di bawah
pengawasan. Sedangkan anak tunagrahita berat dan sangat berat selalu tergantung
dengan bantuan dan perawatan orang lain.
I.
Penyebab
Tunagrahita
Secara umum, terjadinya kecacatan disebabkan 2 faktor utama, yaitu
faktor dari dalam (endogen) dan faktor dari luar (eksogen).
Faktor dalam berarti, anak menderita kecacatan sejak dalam kandungan. Kecacatan
seperti ini bisa disebabkan oleh virus, gangguan emosi, pengaruh merokok, salah
obat, atau minum-minuman keras pada saat mengandung. Sedangkan faktor dari luar
berarti, anak menderita kecacatan setelah lahir kedunia termasuk lahir
prematur, operasi saat melahirkan, atau kesalahan teknis yang dilakukan oleh
para medis pada saat melahirkan (misalnya ditarik untuk membantu persalinan).
Disamping itu dapat juga disebabkan kecelakaan, luka diotak, gangguan psikologis,
atau
pengaruh lingkungan.[8]
J.
Model Pendidikan Bagi Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita sangat
memerlukan pendidikan serta layanan khusus yang berbeda dengan anak-anak pada
umumnya. Ada beberapa pendidikan dan layanan khusus yang disediakan untuk anak tunagrahita,
yaitu:
1.
Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan
bagi anak yang memerlukan layanan khusus termasuk anak tunagrahita. Kelas
transisi sedapat mungkin berada disekolah reguler, sehingga pada saat tertentu
anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas
persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi
sesuai kebutuhan anak.
2.
Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)
Layanan pendidikan untuk
anak tunagrahita model ini diberikan pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas
maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap
sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari penuh
di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C,
sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.
3.
Pendidikan Terpadu
Layanan pendidikan pada
model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama
dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran
tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial
dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau
ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong
tunagrahita ringan, yang termasuk kedalam kategori borderline yang biasanya
mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau
disebut dengan lamban belajar (Slow Learner).
4.
Program Sekolah di Rumah
Progam ini diperuntukkan
bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengkuti pendidikan di sekolah khusus
karena keterbatasannya, misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan
cara mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama
antara orangtua sekolah, dan masyarakat.
5.
Pendidikan Inklusif
Sejalan dengan perkembangan
layaan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru
yaitu model Pendidikan Inklusif. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh,
menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak
tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan
guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua)
orang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk
memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersenut mempunyai
kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak serta
kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan inklusif masih dalam
tahap rintisan.
6.
Panti (Griya) Rehabilitasi
Panti ini diperuntukkan
bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang mempunyai kemampuan pada tingkat
sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda seperti penglihatan,
pendengaran, atau motorik. Program di panti lebih terfokus pada perawatan.
Pengembangan dalam panti ini terbatas dalam hal :
a.
Pengenalan diri.
b.
Sensorimotor dan persepsi.
c.
Motorik kasar dan ambulasi (pindah dari satu temapt ke tempat lain).
d.
Kemampuan berbahasa dan dan komunikasi.
J.
Metode
Penciptaan ruang dalam yang
dapat mendukung pendidikan anak tunagrahita. Jika pemahaman terhadap
karakteristik anak tunagrahita telah dicapai maka adapula beberapa faktor yang
berpengaruh di dalam penataan ruang dalam. Penataan ruang dalam yang baik dan sesuai
dapat memacu komunikasi dan interaksi antar pengguna dan tentunya hal ini akan
memberikan pengaruh yang positif terhadap hubungan antara anak tunagrahita dengan
guru dan anak tunagrahita dengan lingkungan sekitarnya.
1.
Pemilihan Material.
Dari berbagai karakteristik
perilaku anak tunagrahita, tantrum merupakan hal yang sangat berbahaya dan
dominan terjadi pada anak autis, yaitu tindakan anak autis yang mengamuk,
menggigit, memukul, mencakar atau bahkan melukai dirinya sendiri, seperti
membenturkan kepala ke dinding atau meja secara berulang-ulang. Memiliki
sensitivitas terhadap benda tekstur yang tajam, keras, dan kasar. Namun, hal
ini dapat diatasi dengan memilih dan menggunakan material yang aman dan tidak
berbahaya bagi anak autis. Misalnya dengan pemakaian material yang lunak pada penutup
bidang dasar bagian ruang seperti dinding dan lantai dilapisi dengan busa,
karpet, atau matras. Memiliki sensitifitas terhadap bunyi-bunyian atau suara
bising. Maka pada ruang tertentu digunakan peredam suara pada dinding agar anak
dapat berkonsentrasi dan fokus atau dinding dapat pula dilapisi dengan karpet
sebagai peredam kebisingan ruang luar. Dan khusus ruang tantrum atau ruang
mengamuk, dinding dan lantai ruang tersebut harus dilapisi dengan matras agar
tidak terjadi kecelakaan pada anak autis yang tantrum.
2.
Penataan Layout Ruang Dalam.
Ruang dengan fungsi belajar
bagi anak tunagrahita sebaiknya ditata dengan memperhatikan kebutuhan dari
masing-masing pengguna/pelaku. Dengan pengaturan tidak adanya benda-benda elektronik
di dalam ruangan kecuali untuk keperluan tertentu dan dengan pengawasan terapis
atau pendidik. Rak atau lemari untuk menyimpan barang-barang harus diletakkan
lebih tinggi dari jangkauan anak. Perabot yang digunakan sebagai media belajar
seperti meja dan kursi belajar harus sesuai dengan karakter anak tunagrahita,
yaitu kursi dan meja sebaiknya dibuat dari bahan yang berat sehingga tidak
mudah untuk digeser dan diangkat anak, misalnya bahan kayu, dengan ukuran
sesuai tinggi dan berat masing-masing anak.
3.
Pemilihan Warna
Warna sangat berperan
penting di dalam perkembangan psikologis seseorang, terutama anak-anak. Dengan
warna dapat tercipta suasana yang ingin ditonjolkan pada masing-masing ruang
dan dampak psikologis apa yang ingin diperoleh. Dengan kata lain, permainan
warna juga dapat membantu proses terapi penyembuhan dan proses belajar anak
autis. Dapat dikaji, misalnya untuk anak dengan karakteristik perilaku yang
hiperaktif warna-warna yang menenangkan dan sejuk sebaiknya diutamakan dan
digunakan dalam ruang terapi. Sebaliknya, bagi anak yang hipoaktif warna-warna
cerah lebih dianjurkan karena dapat meningkatkan gairah dan semangat dalam
melakukan komunikasi dan interaksi. Jadi, dapat dibuat dua ruang yang berbeda
sehingga tersedia ruang masing-masing untuk anak hiperatif dan hipoaktif.[10]
HASIL DAN ANALISIS HASIL STUDI LAPANGAN
Laporan
Observasi
Nama Sekolah : SLB N 02 JAKARTA
Alamat
Sekolah : Jl. Medis No. 49 RT
07/05, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta
Selatan
Nama Narasumber : Ibu Mafrudhoh S.Pdi
Dalam
studi lapangan kami hanya melakukannya satu kali, yaitu pada Hari Rabu, 11
April 2018 di SLB Negeri 02 Jakarta yang beralamat di Jl. Medis No. 49 RT
07/05, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sekolah tersebut merupakan
pendidikan formal dan yang memiliki jenjang pendidikan, yakni dimulai dari SD,
SMP, dan SMA. Secara keseluruhan, disana terdapat 75 guru dan staff, serta
terdapat 50 rombongan belajar (rombel) dari jenjang SD sampai dengan SMA dan dari
setiap rombongan belajar berisi 6-8 siswa.
Sekolah
tersebut memiliki kondisi yang cukup baik dan kondusif untuk melaksanakan
proses belajar mengajar, dan juga dilengkapi dengan fasilitas yang memadai
untuk menunjang pembelajaran baik dari segi sarana dan prasarananya. Beberapa
fasilitas yang memadai untuk siswa berkebutuhan khusus (Tuna Grahita) yaitu
adanya ruang bina diri dan ruang dapur, dimana pada tempat tersebut siswa
diajarkan mengenai keterampilan dasar kehidupan seperti menjahit, menyulam, memasak,
dsb.
Disana
kami menemui ibu Mafrudhoh selaku narasumber sekaligus guru PAI di sekolah
tersebut. Sebenarnya disana terdapat 4 guru PAI, akan tetapi kami diarahkan
untuk bertemu dengan Ibu Mafrudhoh. Ibu Mafrudhoh merupakan satu-satunya guru
PAI yang sudah PNS dan mendapat bimbingan belajar mengenai ABK selama 1 Tahun,
disamping itu beliau juga belajar secara otodidak.
Karakteristik
siswa yang bersekolah di sekolah tersebut merupakan tuna rungu dan tuna
grahita, bahkan lebih banyak jumlah siswa tuna grahita daripada jumlah siswa
tuna rungu. Kategori tuna grahita yang berada di sekolah ini yaitu tuna grahita
taraf ringan dan taraf sedang. Menurut narasumber, siswa-siswa tersebut (tuna
grahita) memiliki IQ yang rendah dan rata-rata dibawah 100 sehingga mereka
tidak dapat memahami esensi dari materi yang dipelajari. Oleh karena itu, guru
memulai pembelajaran PAI dengan mengaitkan fenomena atau pengalaman siswa
dengan materi yang akan dibahas dan juga dilakukan pembiasaan diri yang bekerja
sama dengan wali murid. Sebagai contoh, materi thaharah (bersuci), guru
terlebih dahulu mengajak siswa untuk sharing (berbagi) mengenai masalah
bersuci yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. kemudian secara perlahan
guru menjelaskan isi materi dengan bahasa yang mudah dimengerti. Menurut beliau
“Materi yang disampaikan akan mengenai anak apabila anak merasa nyaman, dan
kenyamanan itu dapat dibangun melalui sharing”. Berdasarkan pernyataan
tersebut, beliau menggunakan metode sharing dan dialog dalam pembelajaran.
Dalam
pelaksanaan pembelajaran PAI, guru mengacu kepada kurikulum 2013 untuk SLB. Dan
aspek yang lebih ditekankan yaitu aspek afetktif serta evaluasi yang dilakukan
lebih kepada perilaku atau sikap yang mereka tunjukan. Prosedur kenaikan kelas
di sekolah tersebut dilaksanakan berdasarkan nilai keseharian (nilai sikap) dan
siswa pasti naik kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Yosiani, Novita , Relasi Karakteristik Anak Tunagrahita Dengan Pola
Tata Ruang Belajar Di Sekolah Luar Biasa, E-Journal Graduate Unpar Part D –
Architecture Vol. 1, No. 2 (2014)
Somantri, Sutjihati, Psikologi
Anak Luar biasa, Bandung: Refika Aditama, 2006
Smart, Aqila, Anak Cacat Bukan
Kiamat, Jogjakarta: Ar Ruzz media, 2010
Joppy Liando &
Aldjo Dapa, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Perspektif Sistem Sosial, Jakarta:
Depdiknas Dirjen Dikti Direktorak Ketenagaan, 2007
Tarigan, Beltasar, Penjaskes Adaptif, Jakarta: Depdiknas, 2000
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (diakses pada Kamis,12 April 2018)
http://seputarpengertian.blogspot.co.id
(diakses pada Kamis, 12 April 2018)
[1] Novita Yosiani, Relasi Karakteristik Anak Tunagrahita Dengan Pola
Tata Ruang Belajar Di Sekolah Luar Biasa, E-Journal Graduate Unpar Part D –
Architecture Vol. 1, No. 2 (2014)
[2]
Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar biasa, (Bandung: Refika Aditama, 2006),
hal. 103
[3]
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat,
(Jogjakarta: Ar Ruzz media, 2010), hal. 22-40
[4]
Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: Refika Aditama,
2007), hal. 110
[5]
Ibid, hal. 115
[6]
Ibid, hal. 113-114
[7]
Joppy Liando & Aldjo Dapa, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus dalam
Perspektif Sistem Sosial, (Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti Direktorak
Ketenagaan, 2007), hal.25
[8]
Beltasar Tarigan, Penjaskes Adaptif, (Jakarta: Depdiknas, 2000), hal. 34
[9]
Novita Yosiani, Relasi
Karakteristik Anak Tunagrahita Dengan Pola Tata Ruang Belajar Di Sekolah Luar
Biasa, E-Journal Graduate Unpar Part D – Architecture Vol. 1, No. 2 (2014)
[10]
Novita Yosiani, Relasi
Karakteristik Anak Tunagrahita Dengan Pola Tata Ruang Belajar Di Sekolah Luar
Biasa, E-Journal Graduate Unpar Part D – Architecture Vol. 1, No. 2 (2014)
0 komentar:
Posting Komentar