Senin, 21 Mei 2018

Kepemimpinan Kepala Madrasah


A.     Pengertian Kepala Madrasah
           Kepala madrasah dapat didefinisikan sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu madrasah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar. Pemimpin yang dalam bahasa Inggris disebut leader dari akar kata to lead yang terkandung arti yang saling erat berhubungan: bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-tindakan orang lain, membimbing, menuntun, menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya. Selanjutnya, penulis akan menjelaskan definisi kepemimpinan menurut para ahli. Definisi kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Hoy dan Miskol, sebagaimana dikutip Purwanto, mengemukakan bahwa definisi kepemimpinan hampir sebanyak orang yang meneliti dan mendefinisikannya. Kepemimpinan adalah suatu kegiatan dalam membimbing sesuatu kelompok sedemikian rupa, sehingga tercapailah tujuan dari kelompok itu.
           Kepala madrasah terdiri dari dua kata yaitu “kepala” dan “madrasah”.Kata “kepala” dapat diartikan “ketua” atau “pemimpin” dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga. Sedang “madrasah (madrasah)” adalahsebuah lembaga dimana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran. Secara sederhana kepala madrasah (madrasah) dapat didefinisikan sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu madrasah (madrasah) dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat dimana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran.[1]

B.     Konsep Dasar Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Kepemimpinan terkait langsung dengan kebiasaan kelompok, melakukan hubungan dan memberikan perhatian pada kelompok berkepentingan dalam suatu organisasi. Secara khusus kepemimpinan di madrasah mempunyai penekanan pada pentingnya posisi kepemimpinan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas madrasah. Berbagai kutipan tersebut menekankan adanya dimensi sosial budaya dalam kepemimpinan. Di mana kepemimpinan berlangsung interaksi indvidu atau kelompok (siswa, guru, kepala madrasah, orang tua, masyarakat dan karyawan). Muara besar dari interaksi tersebut adalah terbentuknya budaya organisasi madrasah yang kuat sehingga pendidikan dapat berlangsung dengan efektif dan efisien.[2]
           Dalam islam kepemimpinan identik dengan istilah khalifah yang berarti wakil. Pemakaian kata khalifah setelah Rasulullah Saw wafat menyentuh juga maksud yang terkandung dalam perkataan amir (jamaknya umara) atau penguasa. Kedua istilah itu dalam bahasa Indonesia disebut pemimpin formal. Namun jika merujuk kepada firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 30 yang berbunyi:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”
           Maka kedudukan non formal dari seorang khalifah juga tidak dapat dipisahkan lagi. Adam As yang disebut manusia denagn tugas untuyk memakmurkan bumi yang meliputi tugas menyeru orang lain berbuat amar ma’ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar.
           Selain kata khalifah disebutkan juga kata ulil amri yang satu akar dengan kata amir sebagaimana disebutkan diatas. Kata ulil amri yang satu akar dengan kata amir sebagaimana disebutkan di atas. Kata ulil amri beerarti pemimpin tertinggi dalam masyarakat Islam sebagaimana firman Allah Swt dan surat An-Nisa (4) ayat 59:

Artinya: “Hai orang-orang yang  beriman taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan ulul amri di antara kamu”
           Sedangkan dalam suran An-Nisa (4) ayat 83 kata ulil amri mungkin berarti pemimpin tertinggi atau hanya pemimpin Islam yang mengepalai suatu jabatan:
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri (tokoh-tokoh sahabat dan para cendikiawan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinyadari mereka (Rasul dan ulul amri) kalau tidaklah karena karunia dan Rahmat Allah kepada kamu tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil saja (diantaramu)[3]
           Hal tersebut menunjukkan bahwa ulil amri yang dipaparkan dalam kedua ayat tersebut bukan penguasa atau pemerintah kafir yang menjajah masyarakat islam dan juga bukan pemimpin musyrik atau munafik .[4]
           Dalam Al-Qur’an juga disebutkan istilah auliya yang berarti pemimpinyang sifatnya resmi dan tidak resmi, sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat Al-Maidah (5) ayat 55:

Sessunggguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasulnya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk kepada Allah.
Dalam Hadis Rasulullah Saw istilah pemimpin dijumpai dalam kata Raj’in atau amir seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari:
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَرْوَزِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنَا سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَزَادَ اللَّيْثُ قَالَ يُونُسُ كَتَبَ رُزَيْقُ بْنُ حُكَيْمٍ إِلَى ابْنِ شِهَابٍ وَأَنَا مَعَهُ يَوْمَئِذٍ بِوَادِي الْقُرَى هَلْ تَرَى أَنْ أُجَمِّعَ وَرُزَيْقٌ عَامِلٌ عَلَى أَرْضٍ يَعْمَلُهَا وَفِيهَا جَمَاعَةٌ مِنْ السُّودَانِ وَغَيْرِهِمْ وَرُزَيْقٌ يَوْمَئِذٍ عَلَى أَيْلَةَ فَكَتَبَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَنَا أَسْمَعُ يَأْمُرُهُ أَنْ يُجَمِّعَ يُخْبِرُهُ أَنَّ سَالِمًا حَدَّثَهُ
 أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

           Dari Ibn ‘Umar r.a dia berkata: bahwa Rasulullah Saw. Telah bersabda: setiap orang di antara adalah pemimpin dan setiapa kamu akan bertanggungjawab atas kepemimpinannya, atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan dia akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya, orang laki-laki adalah pemimpin dan dia akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya, orang perempuan adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, dan pembantu adalah pemimpin harta benda tuannya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya , dan seorang anak adalah pemimpin harta benda ayahnya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, maka sekali lagi setiap orang diantaramu adalah pemimpin dan setiap kamu akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya
           Berdasar ayat Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah Saw dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan Islam adalah kegiatan menuntun, membimbing, memandu dan menunjukkan jalan yang dirilai Allah Swt.[5]

C.      Kepala Madrasah sebagai Pemimpin Lembaga Pendidikan Islam
           Istilah kepala madrasah di sini memiliki makna umum. Pengertian kepala madrasah ini dimaksudkan berlaku bagi seluruh pengelola lembaga pendidikan yang bisa meliputi kepala madrasah, kepala madrasah, direktur akademi, ketua madrasah tinggi, rektor institut atau universitas, kiai pesantren, dan sebagainya.
                       Terlepas dari perbedaan model kepemimpinan ini, mereka tetap saja merupakan pihak yang paling penting dalam lembaga pendidikan Islam. Mereka yang mempunyai kewenangan mengendalikan lembaga pendidikan Islam dan menentukan arah atau strategi pengelolaan serta pengembangan lembaga tersebut. Dalam pelaksanaan pendidikan, pihak lain memang terlibat, tetapi kewenangan paling besar berada di tangan kepala madrasah/kepala madrasah mengingat kapasitas mereka sebagai pemimpin.[6]
           Sebagai pemimpin pendidikan yang profesional, kepala madrasah dituntut untuk selalu mengadakan perubahan. Mereka harus memiliki semangat yang berkesinambungan untuk mencari terobosan-terobosan baru demi menghasilkan suatu perubahan yang bersifat pengembangan dan penyempurnaan, dari kondisi yang memprihatinkan menjadi kondisi yang lebih dinamis, baik dari segi fisik maupun akademik, seperti perubahan smangat keilmuan, atmosfer belajar dan peningkatan strategi pembelajaran.
D.    Kepemimpinan Kepala Madrasah yang Efektif
           Kajian-kajian karakteristik kepemimpinan efektif berkembang seiring dengan perkembangan dinamika organisasi. Dalam studi efektivitas orang cenderung ditemukan keragaman karakteristik kepemimpinan efektif. Semula kepemimpinan efektif identik dengan kepemimpinan birokrasi dan ilmiah, tetapi sekrang ditemukan strategi kepemimpinan baru dengan menempatkan aspek sosial budaya sebagai faktor yang menciptakan efektivitas organisasi. Sejumlah kajian terhadap organisasi madrasah memberi temuan tentang besarnya kontribusi kepemimpinan kepala madrasah dalam menciptakan perbaikan efektivitas madrasah.
           Dalam mewujudkan madrasah yang bermutu ini jelas membutuhkan kepemimpinan madrasah efektif. Kriteria kepala madrasah yang efektif ialah yang mampu menciptakan atmosfir kondusif bagi murid-murid untuk belajar para guru untuk terlibat dan berkembang secara personal dan profesional dan seluruh masyarakat memberikan dukungan dan harapan yang tinggi. [7]
           Menurut Mulyasa kriteria kepemimpinan kepala madrasah yang efektif adalah sebagai berikut:
a.              Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran  dengan baik, lancar dan produktif
b.             Dapat menjalankan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan
c.              Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan madrasah dan penididkan
d.             Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan kedewasaan guru an pegawai lain di madrasah
e.              Mampu bekerja dengan tim manajemen madrasah
f.              Berhasil mewujudkan tujuan madrasah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan[8]
Lebih lanjut dalam rangka membina kerjasama dengan masyarakat perlu dilakukan upaya-upaya yang sesuai antara lain: mengadakan penyuluhan dengan menggunakan argumentasi yang tepat, menciptakan iklim yang kondusif, menciptakan komunikasi yang positif, mengadakan acara-acara madrasah khusus untuk keluarga dan masyarakat, mewajibkan orangtua maupun masyarakat menghadirinya, Proses penyadaran dapat dilakasanakan dengan menggunkan pendekatan yang mengacu pada pola budaya masyarakat setempat, nilai agama menggunakan law inforcement dengan melibatkan berbagai pihak terkait.
E.  Fungsi Kepala Madrasah
Kepala madrasah atau madrasah sedikitnya harus mampu berfungsi sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator.

1. Kepala madrasah sebagai educator (pendidik)
           Dalam melaksanakan fungsinya sebagai educator, kepala madrasah harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di madrasahnya.Menciptakan iklim yang kondusif, memberikan dorongan kepada warga madrasah, memberikan dorongan kepada seluruh tenaga kependidikan, serta melaksanakan model pembelajaran yang menarik.
           Dalam peranan sebagai pendidik, kepala madrasah harus berusaha menanamkan, memajukan, dan meningkatkan sedikitnya empat macam nilai yaitu pembinaan mental, moral, fisik, dan artistik bagi para guru dan staf di lingkungan kepemimpinannya.[9]

2. Kepala madrasah sebagai manajer
           Manajemen pada hakikatnya merupakan suatu proses merencana, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.Kepala madrasah sebagai manajer mempunyai peran yang menentukan dalam pengelolaan manajemen madrasah, berhasil tidaknya tujuan madrasah dapat dipengaruhi bagaimana kepala madrasah menjalankan fungsi-fungsi manajemen. Fungsi-fungsi manajemen tersebut adalah planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (penggerakan), dan controlling (pengontrol).
           Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer, kepala madrasah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerjasama atau kooperatif, memberi kesempatan kepada para tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya, dan mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program madrasah. [10]

3. Kepala madrasah sebagai administrator
           Peranan kepala madrasah sebagai administrator pendidikan pada hakekatnya, kepala madrasah mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kebutuhan nyata masyarakat serta kesediaan dan ketrampilan untuk mempelajari secara kontinyu perubahan yang sedang terjadi di masyarakat sehingga madrasah melalui program-program pendidikan yang disajikan senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan baru dan kondisi baru.
            
Kepala madrasah sebagai administrator memiliki hubungan yang sangat erat dengan berbagai aktivitas pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan, penyusunan, dan pendokumenan seluruh program madrasah. Secara spesifik, kepala madrasah harus memiliki kemampuan untuk mengelola kurikulum, mengelola administrasi peserta didik, mengelola administrasi personalia, mengelola administrasi sarana prasarana, mengelola administrasi kearsipan, dan mengelola administrasi keuangan. [11]

4. Kepala madrasah sebagai supervisor
           Salah satu tugas kepala madrasah sebagai supervisor adalah mensupervisi pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kependidikan.Kepala madrasah sebagai supervisor harus diwujudkan dengan kemampuan menyusun, dan melaksanakan program supervisi pendidikan, serta manfaatkan hasilnya. Kemampuan menyusun program supervisi pendidikan harus diwujudkan dalam penyusunan program supervisi kelas, pengembangan program supervisi untuk kegiatan ekstrakulikuler, pengembangan program supervisi perpustakaan, laboratorium dan ujian.
           Supervisi pendidikan merupakan bantuan yang sengaja diberikan supervisor kepada guru untuk memperbaiki dan mengembangkan situasi belajar mengajar termasuk menstimulir, mengkoordinasi dan membimbing secara berlanjutan pertumbuhan guru-guru secara lebih efektif dalam tercapainya tujuan pendidikan.
            
           Berkenaan dengan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kepala madrasah merupakan seorang yang mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk memimpin suatu lembaga pendidikan (madrasah), yang di dalamnya diselenggarakan proses belajar mengajar untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu keberhasilan proses belajar mengajar, tidak bisa terlepas dan merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab kepala madrasah. Kepala madrasah mempunyai tugas dan bertanggung jawab terhadap kualitas sumber daya manusia (guru, tenaga non kependidikan, dan staf madrasah lainnya), karena kepala madrasah merupakan seorang pejabat profesional dalam organisasi madrasah, yang bertugas mengatur semua sumber daya manusia dalam organisasi (madrasah), dan bekerja sama dengan tenaga kependidikan (guru) yang bertanggung jawab dalam mendidik anak, untuk mencapai keberhasilan pendidikan.[12]
F.     Keputusan-keputusan Pemimpin Lembaga Pendidikan Islam
           Pemimpin dalam bidang apa saja harus mampu menghasilkan keputusan-keputusan fungsional. Artinya, keputusan yang benar-benar mengikat seluruh anggota suatu organisasi untuk mematuhi dan menjalankannya bersama-sama, baik dengan keterpaksaan maupun kesadaran. Keterpaksaan bagi orang tertentu mungkin terjadi meskipun sedapat mungkin dihindarkan, karena seseorang harus menyesuaikan diri dengan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dan diberlakukan bagi semua jajaran organisasi.
           Proses pengambilan keputusan meliputi tiga kegiatan, yaitu proses sebagai berikut:
1.      Kegiatan yang menyangkut pengenalan, penentuan, dan diagnosis masalah.
2.      Kegiatan yang menyangkut pengembangan alternatif masalah
3.      Kegiatan yang menyangkut evaluasi dan memilih pemecahan masalah terbaik
     Demikianlah ciri-ciri keputusan yang baik. Hal penting ini perlu diperhatikan oleh pemimpin lembaga pendidikan Islam dalam menjalankan roda organisasi, agar keputusan-keputusan yang diambilnya benar-benar produktif dan pada akhirnya dapat mengantarkan pada keberhasilan serta kemajuan lembaga pendidikan yang dipimpin[13]









BAB III
PENUTUP
          Secara sederhana kepala madrasah (madrasah) dapat didefinisikan sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu madrasah (madrasah) dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat dimana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran
Kepala madrasah atau madrasah sedikitnya harus mampu berfungsi sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator.  Dalam mewujudkan madrasah yang bermutu ini jelas membutuhkan kepemimpinan madrasah efektif. Kriteria kepala madrasah yang efektif ialah yang mampu menciptakan atmosfir kondusif bagi murid-murid untuk belajar para guru untuk terlibat dan berkembang secara personal dan profesional dan seluruh masyarakat memberikan dukungan dan harapan yang tinggi.
 Kepala madrasah mempunyai tugas dan bertanggung jawab terhadap kualitas sumber daya manusia (guru, tenaga non kependidikan, dan staf madrasah lainnya), karena kepala madrasah merupakan seorang pejabat profesional dalam organisasi madrasah, yang bertugas mengatur semua sumber daya manusia dalam organisasi (madrasah), dan bekerja sama dengan tenaga kependidikan (guru) yang bertanggung jawab dalam mendidik anak, untuk mencapai keberhasilan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam, (Surabaya: Elkaf, 2006)
Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah Dalam Mengembangkan Budaya Mutu, (Jakarta: BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENAG RI, 2010)
Syarifruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press,2005)
Mulyasa, Menjadi Kepala Madrasah Profesional, dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2005),

Abudin Nata, Manajemen Pendidikan mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pramada Media, 2003)




[1]  Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam, (Surabaya: Elkaf, 2006), h. 120
[2] Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah Dalam Mengembangkan Budaya Mutu, (Jakarta: BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENAG RI, 2010) h.15
[3] Ibid., h. 18-21
[4] Syarifruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press,2005) h.160
[5] Ibid., h. 165
[6] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010) h.281
[7] Op.Cit., h. 27
[8] Mulyasa, Menjadi Kepala Madrasah Profesional, dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2005), h. 98 
[9] Abudin Nata, Manajemen Pendidikan mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pramada Media, 2003) h. 147
[10] Ibid., h. 148
[11] Ibid., 148-150
[12] Ibid., 150-152
[13] Mulyadi., h. 294

Pluralisme Menurut MUI, Adian Husaini, Jaringan Islam Liberal dan Kristen


A.    Pluralisme menurut MUI
   Majelis ulama Indonesia menerbitkan fatwa tentang pluralisme bersamaan dengan fatwa tentang liberalisme dan sekularisme dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil-Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M dengan nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005

1.    Dasar Pertimbangan Penerbitan Fatwa
Adapun pertimbangan diterbitkannya fatwa tersebut adalah ; (1) Bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat; (2) Bahwa berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut; (3) Bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.

2.    Ayat Al-Qur’an tentang Pluralisme
a.    Qs. Ali Imran (3) : 85
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

b.    Qs. AlI Imran (3) : 19
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…


c.    Qs. Al-Kafirun (109) : 6
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku.

d.   QS. al-Ahzab [33] : 36
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yangmukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.

e.    QS. al-Mumtahinah [60] : 8-9
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangim karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

f. QS. al-Qashash [28] : 77
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

g.    QS. al-An’am [6] : 116
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).

h.    QS. AL-Mukminun [23] : 71
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.

3.        Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
a.    Imam Muslim (wafat 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi  penghuni neraka.” (HR. Muslim)

b.     Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-Muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al- Najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajak mereka untuk masuk Islam. (Riwayat Ibnu Sa’d dalam al- Thabaqat al-Kubra dan Imam al- Bukhari dalam Shahih al-Bukhari)

c.    Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-komunitas non-Muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi Bani Quraidzah (Sayyid Bani Quraidzah). (Riwayat al- Bukhari dan Muslim) 

4.    Ketentuan Umum
a.    Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang  lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

b.    Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

5.    Ketentuan Hukum
a.    Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
b.    Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme Agama.
c.    Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur-adukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
d.   Bagi masyarakat Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan

B.     Pluralisme Menurut  Adian Husaini
1.      Pengertian Pluralisme
      Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama­agama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama­agama yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama­agama (religious studies).
      Dan memang, meskipun ada sejumlah definisi yang bersifat sosiologis, tetapi yang menjadi perhatian utama para peneliti dan tokoh­tokoh agama adalah definisi Pluralisme yang meletakkan kebenaran agama­agama sebagai kebenaran relatif dan menempatkan agama­agama pada posisi ”setara”, apapun jenis agama itu. Bahkan, sebagian pemeluk Pluralisme mendukung paham sikretisasi agama.
      Yang perlu diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, adalah bahwa penyebaran paham Pluralisme merupakan proyek global yang melibatkan kepentingan dan dana yang sangat besar. Tidak heran, jika penyebaran paham ini menjadi perhatian negara­negara Barat dan LSM­LSM global. Hampir seluruh LSM dan proyek yang dibiayai oleh LSM­LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, dan sejenisnya, adalah mereka­mereka yang bergerak dalam penyebaran paham Pluralisme Agama. LSM­LSM Barat itu secara sistematis menyusup masuk ke lembaga­lembaga atau organisasi Islam dengan menawarkan proyek­proyek penyebaran paham Pluralisme Agama. Berbagai buku, jurnal, artikel, dan sebagainya telah diterbitkan dengan sokongan dana besar­besaran. Paham ini bahkan sudah menyusup di buku­buku yang diajarkan kepada mahasiswa Perguruan Tinggi Islam.

2.      Masalah Keberagaman dalam Islam
Islam adalah agama yang sejak awal mengakui keberagaman. Konsep “tidak ada paksaan untuk memeluk agama” dan konsep “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” sudah secara tegas dinyatakan dalam al­Quran. Karena itu, kaum Muslim dilarang keras memaksa orang lain untuk memeluk Islam. Meskipun, kaum Muslim diwajibkan menyampaikan dakwah Islam. Bahkan, kaum Muslim diwajibkan menghormati pemeluk agama lain. Seorang anak yang masuk Islam, diwajibkan tetap menghormati dan berbuat baik kepada orang tuanya yang belum masuk Islam. Sejarah Islam membuktikan bagaimana tingginya sikap toleran kaum Muslim terhadap pemeluk agama lain.

      Tetapi, dalam konsepsi Islam, adalah mustahil untuk menyatakan, bahwa semua paham (isme) atau agama adalah benar dan merupakan jalan yang sama­sama sah menuju Tuhan. Sebab, faktanya, begitu banyak agama yang jelas­jelas salah dalam pandangan Islam. Maka, ada perbedaan mendasar antara mengakui dan menerima keberagaman beragama dengan mengakui kebenaran semua agama. Yang pertama bisa dikatakan sebagai mengakui pluralitas agama, sedangkan yang kedua adalah mengakui Pluralisme Agama. Islam mengakui dan menerima perbedaan dan keberagaman, tetapi jelas tidak mengakui bahwa semua agama adalah jalan yang sama­sama sah dan benar menuju Tuhan yang satu.
      Karena itu, di dalam Islam, ada standar untuk menyatakan, mana satu agama atau paham dikatakan salah/sesat dan mana yang dikatakan benar.

3.      Minyak babi cap onta
      Islam memang mempunyai konsep yang tegas dan lugas dalam soal keimanan. Tetapi, Islam telah memberi contoh, bagaimana hidup saling menghormati dan menghargai antar sesama pemeluk agama yang berbeda­beda. Bahkan, seorang anak yag Muslim pun masih tetap diwajibkan menghormati orang tuanya, meskipun orang tuanya bukan Muslim. Begitu juga dengan tetangganya. Konsep Islam ini memang sangat khas Islam, yang seyogyanya tidak ada diantara kalangan kaum Muslim yang mencoba untuk merusaknya.

      Paham Pluralisme Agama telah terbukti sebagai hal yang destruktif bagi semua agama. Sebab, paham ini tidak mengakui – bahkan berusaha menghancurkan – klaim­ klaim kebenaran absolut masing­masing agama. Padahal, diatas keyakinan akan kebenaran masing­masing itulah, maka satu agama eksis. Paham ini memang sangat tidak toleran, karena tidak menghargai keberagaman antar­agama. Perbedaan antar agama adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Karena itu, penyebaran paham ini ke kalangan masyarakat beragama merupakan satu bentuk penghancuran agama. Bisa dikatakan, paham ini memang sejenis ‘senjata pemusnah massal’ (weapon of mass destruction), yang berpotensi menghancurkan konsep dasar pada masing­masing agama. Atau, bisa juga diibaratkan, paham ini sejenis parasit bagi agama­agama, yang jika menghinggapi satu agama, maka parasit ini sedikit­demi sedikit akan mematikan inangnya.

      Dalam sejarah sudah banyak orang yang bereksperimen untuk ‘meramu’ agama baru, dengan alasan ingin menghilangkan konflik antar­agama. Tetapi, yang terjadi bukannya menyelesaikan masalah dan mempersatukan agama­agama yang ada, malah yang terjadi justru sebaliknya, upaya ‘agama ramuan’ itu menjadi agama baru yang menambah daftar jumlah agama di dunia. Karena itu, dalam tataran konsep teologis, tidak mungkin menyatukan dan mempersamakan semua agama. Dalam konsep Islam, siapa yang mau beriman silakan beriman, dan siapa yang maunya kafir, silakan kafir. Akibatnya tanggung sendiri. (QS 18:29). Iman tidak dapat dipaksakan.

      Klaim­klaim kebenaran (truth claim) bukanlah harus dibuang untuk menyelesaikan konflik antar umat beragama. Tidak mungkin seorang muslim yang meyakini bahwa Nabi Isa a.s. tidak disalib, pada saat bersamaan dipaksa meyakini, bahwa Nabi Isa a.s. mati di tiang salib untuk menebus dosa manusia. Tidak mungkin seorang muslim meyakini bahwa zina adalah haram, tetapi pada saat yang sama juga berpikiran sekular­liberal dengan meyakini bahwa perbuatan zina adalah halal. Dua keyakinan yang berbeda tidak mungkin hidup dalam satu hati. Tauhid dan syirik tidak mungkin hidup berdampingan secara damai dalam hati seorang mukmin.

      Karena itu, kita mengimbau agar para penyebar parasit Pluralisme Agama dari kalangan Muslim menyadari kekeliruan dan bahaya dari tindakan mereka. Kita juga mengimbau, agar kaum pluralis agama tidak memutarbalikkan ayat­ayat al­Quran dengan tujuan untuk melegitimasi pandangan Pluralisme Agama, seolah­olah Pluralisme Agama adalah paham yang dibenarkan oleh al­Quran. Cara seperti ini sama saja dengan “menjual minyak babi tetapi diberi cap onta”.

C.    Pluralisme menurut Jaringan Islam Liberal
1.      Elemen-elemen dalam Pluralisme
      Pertama, Pluralisme bukan sekedar statement tentang adanya keragaman dalam masyarakat. Kalau sekedar menyatakan bahwa masyarakat secara faktual beragam, tak banyak manfaatnya. Yang kita butuhkan bukan pernyataan faktual, tetapi bagaimana sikap kita terhadap keragaman itu. Apakah orang yang beda dengan kita mau kita terima atau kita sesatkan? Di sinilah pentingnya wacana mengenai pluralisme.

      Kedua, Pluralisme bukan sekedar menolerir perbedaan, tetapi tindakan aktif untuk mencari pengertian dan pemahaman dari keragaman. Sikap kita untuk membuka diri terhadap keragaman dan belajar dari sana secara positif, itulah yang menandai sikap ideal dalam gagasan pluralisme

      Ketiga, pluralisme bukanlah anjuran agar kita memeluk relativisme dalam bergama. Yakni sikap mengendurkan ikatan dengan tradisi agama yang kita imani. Pluralisme bukan relativisme, melainkan “encounter of commitment” perjumpaan pelbagai komitment pertemuan sikap-sikapyang loyal pada tradisi agama masing-masing. Seseorang yang terlibat dalam dialog antar-agama tak berarti harus meninggalkan loyalitas pada agamanya. Loyalitasdan komitmen tak dikendurkan dalam pluralisme.

      Keempat, dasar pokok pluralisme adalah dialog. Dialog bukan berarti suatu  tindakan yang mau membolduser perbedaan antar tradisi agama, dan memaksa peserta dialog untuk mengamini rejim identitas atau kesamaan. Melainkan justru memahami perbedaan-perbedaan itu, seraya bertanya, apa yang bisa kita pelajari dari sana.

2.      Pendapat Tokoh JIL terkait pluralisme
       Dalam sebuah wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla, yang kemudian dimuat di  Harian Jawa Pos, 11 Mei 2003, Budhy Munawar Rahman, tokoh JIL yang juga dosen Universitas Paramadina mengatakan,”…inti keberagamaan itu kan kesadaran Tuhan. Kosa kata “din” dalam bahasa Arab itu sendiri berarti ketundukan dan keterikatan kepada Tuhan. Kata Islam juga bisa dikembalikan kepada maknanya yang generik, yang asal, artinya, kepasrahan dan ketundukan…” demikian papar Budhy, menjelaskan makna ayat “Inna ad-diina indallahi al-Islam”. Jadi, ayat tersebut menurut kelompok liberal, tidak bisa diartikan sebagai “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam.” Melainkan mereka mengartikan sendiri dengan, “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah kepasrahan, ketundukan.”

      Sukidi, aktivis liberal lainnya yang mendapat beasiswa di Harvard University, Amerika Serikat, dalam wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla, sebagaimana dimuat pada situs www.islamlib.com, 10 Juni 2005, mengatakan,”Terus terang, saya memeluk Islam bukan didasari doktrin bahwa Islam pasti yang paling benar, tapi karena argumen bahwa Islam juga menyediakan sumber jalan yang sama untuk menuju Tuhan. Jadi, Islam menjadi sumber yang equal dengan agama-agama lain dalam menunjukkan jalan kepada Tuhan. Dengan premis itu, kita bisa respek pada proses pencarian kebenaran dari berbagai tradisi agama lain,” ujarnya. Sukidi menegaskan, “Karena itu, jangan sekali-kali mengklaim bahwa Islam adalah satu-satunya jalan menuju Tuhan. Islam hanyalah satu di antara sekian banyak jalan menuju Tuhan. Jangan pula kita tertipu oleh nama Tuhan itu sendiri, karena nama adalah simbol, sekadar alat bantu untuk menuju Yang Esensial itu sendiri, “tegasnya.

D.    Pluralisme menurut Kristen
1.      Pluralisme Dalam Pandangan Katolik
      Menghadapi  serbuan  paham  Pluralisme  Agama  ini,  maka  para  tokoh  agama­ agama  tidak  tinggal  diam.  Paus  Yohannes  Paulus  II,  tahun  2000, mengeluarkan  Dekrit ‘Dominus  Jesus’. Penjelasan  ini,  selain  menolak  paham  Pluralisme  Agama,  juga  ditegaskan  kembali  bahwa  Yesus  Kristus  adalah  satu­satunya  pengantara  keselamatan  Ilahi  dan  tidak  ada  orang  yang  bisa  ke  Bapa  selain  melalui  Yesus.
Latar belakang dikeluarkannya Dekrit Dominus  Jesus dikarenakan ketidak setujuan Paus kepada para pemikir Pluralisme Agama, salah satu pemikirnya yaitu Frans  Magnis  Suseno yang mengatakan pluralisme  agama  itu  sesuai dengan  “semangat zaman”. Ia merupakan warisan filsafat Pencerahan 300 tahun lalu dan  pada  hakikatnya  kembali  ke  pandangan  Kant  tentang  agama  sebagai  lembaga  moral,  hanya  dalam  bahasa  diperkaya  oleh  aliran­aliran  New  Age  yang,  berlainan  dengan  Pencerahan,  sangat  terbuka  terhadap  segala  macam  dimensi  “metafisik”,  “kosmis”, “holistik”,  “mistik”,  dsb. 

Pluralisme  sangat  sesuai  dengan  anggapan  yang  sudah  sangat  meluas  dalam  masyarakat  sekuler  bahwa  agama  adalah  masalah  selera,  yang  termasuk  “budaya  hati”  individual,  mirip  misalnya  dengan  dimensi  estetik,  dan  bukan  masalah kebenaran.  Mengkliam  kebenaran  hanya  bagi  diri  sendiri  dianggap  tidak  toleran.  Kata  “dogma”  menjadi  kata  negatif.  Masih  berpegang  pada  dogma­dogma  dianggap ketinggalan zaman.


2.      Pluralisme Dalam Pandangan Protestan
      Berbeda dengan agama Katolik yang memilik pemimpin tertinggi dalam hirarkis Gereja  (Paus),  dalam  kalangan  Protestan  tidak  bisa  ditemukan  satu  sikap  yang  sama  terhadap  paham  Pluralisme  Agama.  Teolog­teolog  Protestan  banyak  yang  menjadi  polopor paham ini. Meskipun demikian, dari kalangan Protestan, juga muncul tantangan keras  terhadap  paham  Pluralisme  Agama.

      Seperti yang dilakukan oleh pemikir protestan Indonesia Poltak YP Sibarani&Bernard Jody A. Siregar, dalam buku Beriman dan Berilmu:  Panduan Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa, menjelaskan: Pluralisme  bukan  sekedar  menghargai  pluralitas  agama  tetapi  sekaligus menganggap  (penganut)  agama  lain  setara  dengan  agamanya.  Ini  adalah  sikap yang  mampu  menerima  dan  menghargai  dan  memandang  agama  lain  sebagai  agama  yang  baik  dan  benar,  serta  mengakui  adanya  jalan  keselamatan  di  dalamnya. Di satu pihak, jika tidak berhati­hati, sikap ketiga ini dapat berbahaya  dan  menciptakan  polarisasi  iman.  Artinya,  keimanannya  atas  agama  yang  diyakininya  pada  akhirnya  bisa  memudar  dengan  sendirinya,  tanpa  intervensi pihak lain.

      Sebuah kajian dan kritik yang serius terhadap paham Pluralisme Agama dilakukan oleh Pendeta Dr. Stevri I. Lumintang, seorang pendeta di Gereja Keesaan Injil Indonesia. Dijelaskan bahwa Pluralisme  adalah  suatu  tantangan  sekaligus  bahaya  yang  sangat  serius  bagi kekristenan.  Karena  pluralisme  bukanlah  sekedar  konsep  sosiologis, anthropologis, melainkan konsep filsafat agama yang bertolak bukan dari Alkitab, melainkan  bertolak dari  fakta kemajemukan  yang diikuti oleh tuntutan toleransi, dan diilhami oleh keadaan sosial­politik yang didukung oleh kemajemukan etnis, budaya  dan  agama ;  serta  disponsori  oleh  semangat  globalisasi  dan  filsafat relativisme  yang  mengiringinya.  Pluralisme  secara  terang­terangan  menolak konsep kefinalitasan,  eksklusivisme  yang  normatif,  dan  keunikan  Yesus  Kristus. Kristus  bukan  lagi  satu­satunya  penyelamat,  melainkan  salah  satu  penyelamat. Inilah  pluralisme,  dan  disinilah  letaknya  kehancuran  kekristenan  masa  kini, sekalipun  pada  hakikatnya  kekristenan  tidak  akan  pernah  hancur.






Daftar Pustaka

Husaini, Adian, Pluralisme Agama Musuh Agama-Agama, 2010 (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIANomor:  7/MUNAS VII/MUI/11/2005 Tentang PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA