Mula-mula Nabi Muhammad utusan Tuhan, bertindak sebagai pemutus perkara dan pelerai pertikaian yang terjadi di masyarakat. Keputusan berdasarkan wahyu tidak jarang melalui musyawarah dengan para sahabat. Kebijaksanaan melalui musyawarah pun memiliki nilai keilahiannya, bukan pada “materi” keputusan yang dihasilkan tetapi lebih kepada kenyataan bahwa perintah musyawarah telah dijalankan.
Setelah Nabi wafat fungsi beliau
dilanjutkan oleh para khalifah . Dalam kelompok kaum Muslim, para pembesar sahabat termasuk di dalamnya
khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsaman dan Ali) tidak diragukan lagi
keputusannya. Suatu keputusan yang dilakukan oleh kaum salaf tersebut, meskipun tanpa acuan langsung kepada kitab
suci, akan dipandang oleh kelompok Muslim sebagai bagian dari sunnah suci. (kadang- yang lebih tepat konvensi yang tidak
langsung dari Nabi itu disebut atsar—secara harfiah berarti peninggalan atau
petilasan).
Menurut pengikut Madzhab Hambali hanya
konsesus kaum salaf saja yang memiliki keabsahan dan mengikat. Jika keputusan hukum di luar
teks Al-Qur;an tersebut berasal bukan
dari Salaf (sahabat, Tabi’un dan
pengikut Tabi’un itu sendiri – Tabi’ut – Tabi’in) maka suatu kebijaksanaan atau
keputusan hukum itu dekat sekali dengan pendapat atau pikiran pribadi. Karena
itu secara benar disebut sebagai al-ra’y, pendapat.
Perkembangan sistem hukum Islam dengan
ekspresi yang mantap diawali dengan munculnya aliran al-ra’y di Irak oleh Abu
Hanifah dan para pengikutnya. Pada waktu
yang hampir sama disusul dengan perhatian terhadap sunnah secara laten oleh
sarjana Madinah yaitu Malik ibn Anas, pendiri Madzhab Maliki. Imam Syafi’I
seolah-olah tampil ditengah antara mereka yang berkedudukan di Hijaz dan di
Irak. Ia pernah berguru kepada Imam Malik dan kepada al-Syaibani, pengikut
mazhab Hanafi.
Dalam bidang kajian ilmiah Hadis,
imam Syafi’I berperan lebih banyak
sebagai peletak dasar, dengan melahirkan kitab kritik terhadap hadits
“Musthalah al-Hadits”. Sampai kemudian munculnya sarjana Hadits al-Bukhari
(Imam Bukhari) yang melaksanakan penelitian ilmiah terhadap hadits. Penelitian tersebut kemudian
dilanjutkan oleh pengikutnya seorang sarjana dari Naishapur yaitu Imam Muslim.
Setelah
masa dua sarjana tersebut (Bukhari dan Muslim), beberapa sarjana terdorong untuk
meneruskan kajian dan penelitian hadits yang masih banyak beredar dengan bebas
di masyarakat. Dari penelitian tersebut, terkumpul empat buku hadits dari golongan Sunni yang dianggap
standar yaitu berturut-turut, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i.
Kemudian secara kolektif catatan hadits melalui metodologi ilmiah yang kritis
itu disebut al-Kuttub sittah (kitab yang enam), yang diangkat sebagai acuan
induk kedua dalam kajian tekstual agama Islam setelah al-Qur’an.
Kitab
suci dan Hadits Nabi melengkapi umat Islam dengan pegangan yang tekstual yang
“Obyektif”. Namun keobyektifan dalil-dalil tekstual tidak dengan sendirinya
menutup sama sekali kesubyektifan pemahamannya.
Karena itu diperlukan ketentuan-ketentuan yang tegas tentang bagaimana bukti-bukti
tekstual itu dipahami.
Imam
Syafi’I diakui sebagai peletak dasar metodologi pemahaman hukum Islam. Sebab
teori dan metodenya bukan saja diikuti oleh madzhabnya tapi juga oleh madzhab
lain. Buku Imam Syafi’I Al-Risalah yang diterjemahkan ini adalah pengungkapan
wawasannya tentang prinsip-prinsip jurisprudensi. Maka membaca buku ini kiranya
akan memberi gambaran perkenalan teentang sumbangan dan peranan Imam Syafi’I,
sarjana dan teoritikus hukum Islam yang besar itu.
(Resume ini diperoleh dari "Imam Syafi'i Peletak Dasar Metodologi Pemahaman Hukum dalam Islam" yaitu pengantar dari Nurcholis Madjid dalam buku terjemah Ar-Risalah)
Daftar Pustaka
Thoha, Ahmadie.1986. Ar-Risalah Imam Syafi'i.Jakarta: Pustaka Firdaus.
(Resume ini diperoleh dari "Imam Syafi'i Peletak Dasar Metodologi Pemahaman Hukum dalam Islam" yaitu pengantar dari Nurcholis Madjid dalam buku terjemah Ar-Risalah)
Daftar Pustaka
Thoha, Ahmadie.1986. Ar-Risalah Imam Syafi'i.Jakarta: Pustaka Firdaus.
0 komentar:
Posting Komentar