Minggu, 18 November 2018

Resume: Imam Syafi'i Peletak Dasar Metodologi Pemahaman Hukum dalam Islam





Mula-mula Nabi Muhammad utusan Tuhan, bertindak sebagai pemutus perkara dan pelerai pertikaian yang terjadi di masyarakat. Keputusan berdasarkan wahyu tidak jarang melalui musyawarah dengan para sahabat. Kebijaksanaan melalui musyawarah pun memiliki nilai keilahiannya,  bukan pada “materi” keputusan yang dihasilkan tetapi lebih kepada kenyataan bahwa perintah musyawarah telah dijalankan.
Setelah Nabi wafat fungsi beliau dilanjutkan oleh para khalifah . Dalam kelompok kaum Muslim,  para pembesar sahabat termasuk di dalamnya khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsaman dan Ali) tidak diragukan lagi keputusannya. Suatu keputusan yang dilakukan oleh kaum salaf tersebut, meskipun tanpa acuan langsung kepada kitab suci, akan dipandang oleh kelompok Muslim sebagai bagian dari sunnah suci. (kadang- yang lebih tepat konvensi yang tidak langsung dari Nabi itu disebut atsar—secara harfiah berarti peninggalan atau petilasan).
Menurut pengikut Madzhab Hambali hanya konsesus kaum salaf saja yang memiliki keabsahan  dan mengikat. Jika keputusan hukum di luar teks Al-Qur;an  tersebut berasal bukan dari  Salaf (sahabat, Tabi’un dan pengikut Tabi’un itu sendiri – Tabi’ut – Tabi’in) maka suatu kebijaksanaan atau keputusan hukum itu dekat sekali dengan pendapat atau pikiran pribadi. Karena itu secara benar disebut sebagai al-ra’y, pendapat.
Perkembangan sistem hukum Islam dengan ekspresi yang mantap diawali dengan munculnya aliran al-ra’y di Irak oleh Abu Hanifah dan para pengikutnya.  Pada waktu yang hampir sama disusul dengan perhatian terhadap sunnah secara laten oleh sarjana Madinah yaitu Malik ibn Anas, pendiri Madzhab Maliki. Imam Syafi’I seolah-olah tampil ditengah antara mereka yang berkedudukan di Hijaz dan di Irak. Ia pernah berguru kepada Imam Malik dan kepada al-Syaibani, pengikut mazhab Hanafi.
                Dalam bidang kajian ilmiah Hadis, imam Syafi’I  berperan lebih banyak sebagai peletak dasar, dengan melahirkan kitab kritik terhadap hadits “Musthalah al-Hadits”. Sampai kemudian munculnya sarjana Hadits al-Bukhari (Imam Bukhari) yang melaksanakan penelitian ilmiah terhadap  hadits. Penelitian tersebut kemudian dilanjutkan oleh pengikutnya seorang sarjana dari Naishapur yaitu Imam Muslim.
                Setelah masa dua sarjana tersebut (Bukhari dan Muslim), beberapa sarjana terdorong untuk meneruskan kajian dan penelitian hadits yang masih banyak beredar dengan bebas di masyarakat. Dari penelitian tersebut, terkumpul empat  buku hadits dari golongan Sunni yang dianggap standar yaitu berturut-turut, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i. Kemudian secara kolektif catatan hadits melalui metodologi ilmiah yang kritis itu disebut al-Kuttub sittah (kitab yang enam), yang diangkat sebagai acuan induk kedua dalam kajian tekstual agama Islam setelah al-Qur’an.
                Kitab suci dan Hadits Nabi melengkapi umat Islam dengan pegangan yang tekstual yang “Obyektif”. Namun keobyektifan dalil-dalil tekstual tidak dengan sendirinya menutup sama sekali kesubyektifan pemahamannya.  Karena itu diperlukan ketentuan-ketentuan yang tegas tentang bagaimana bukti-bukti tekstual itu dipahami.
                Imam Syafi’I diakui sebagai peletak dasar metodologi pemahaman hukum Islam. Sebab teori dan metodenya bukan saja diikuti oleh madzhabnya tapi juga oleh madzhab lain. Buku Imam Syafi’I Al-Risalah yang diterjemahkan ini adalah pengungkapan wawasannya tentang prinsip-prinsip jurisprudensi. Maka membaca buku ini kiranya akan memberi gambaran perkenalan teentang sumbangan dan peranan Imam Syafi’I, sarjana dan teoritikus hukum Islam yang besar itu.

(Resume ini diperoleh dari  "Imam Syafi'i Peletak Dasar Metodologi Pemahaman Hukum dalam Islam" yaitu pengantar dari Nurcholis Madjid dalam buku terjemah Ar-Risalah)

Daftar Pustaka
Thoha, Ahmadie.1986. Ar-Risalah Imam Syafi'i.Jakarta: Pustaka Firdaus. 

0 komentar:

Posting Komentar