Minggu, 31 Desember 2017

Tafsir Qs. Al-Baqarah : 148



1. Teks Ayat dan Terjemah

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَاتَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ جَمِيعاً إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿١٤٨﴾

Artinya:
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al Baqarah : 148).

2. Kata Kunci (Mufradât)
Firman-Nya وَلِكُلٍّ  (dan bagi tiap-tiap umat) mudhaf ilaih-nya (penyandang kata majemuknya) dibuang, ini ditandakan dengan tanwin. Maknanya: bagi setiap pemeluk agama ada kiblatnya terssendiri. (ada kiblatnya) adalah format fi’lah dari kata muwaajahah yang maknanya mencakup jihah (arah) dan wajh (wajah), adapun maksudnya disini adalah kiblat. Yakni, bahwa mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan engkau pun tidak akan mengikuti kiblat mereka.
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ  (dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (tersendiri)) baik secara hak maupun batil. Dhamir (هُوَ yakni kata ganti) pada kalimat: (مُوَلِّيهَا هُوَ  yang ia menghadap kepadanya) kembali lafazh dan dhamir pada kalimat (مُوَلِّيهَا menghadapkan wajahnya kepadanya). Artinya: bahwa setiap pemeluk agama memiliki kiblat tersendiri, dan pemilik kiblat itu menghadapkan wajahnya kepadanya (kepada kiblatnya). Atau: setiap kalian wahai umat Muhammad, Shalat dengan menghadap ke arahnya, baik ia berada di timur, di barat, di selatan ataupun di utara. Makna ini bila khithab tersebut ditujukan kepada kaum muslimin. Kemungkinan juga dhamir adalah Allah Swt, walaupun sebelum tidak ada redaksi yang mengindikasikan ini, karena sudah maklum bahwa Allah-lah yang melakukan ini (menghadapkan manusia), sehingga maknanya: Bahwa setiap pemeluk agama ada kiblatnya tersendiri, Allah menghadapkannya ke arah kiblatnya.
            Ath-Thabari menceritakan, bahwa ada suatu kaum yang membacanya: وَلِكُلّ (dan bagi tiap-tiap arah) dengan bentuk idhafah (penyandaran .. kepada ..) Bacaan ini disandarkan kepada Ibnu Abbas oleh Abu Amr Ad-Dani. Disebutkan di dalam al-kasysyaf: wakullu wijhatin Allahu muwalliihaa (dan setiap kiblat, Allah-lah yang menghadapkannya), lalu ditambahkan laam karena mafulnya didahulukan , seperti ungkapan : lizaidin dharabtu (Zaid-lah yang aku memukul), dan lizaidin abuuhu dhaaribuhu (Zaid-lah yang dipukul oleh ayahnya). “Ibnu Abbas dan Ibnu Amir membacanya ”Muwallaahaa” sebagai bentuk ungkapan yang tidak menyebutkan fa’ilnya. Az-Zujaj berkata, “Dhamir dalam bacaan ini untuk satu orang, yakni: Setiap orang dari manusia mempunyai kiblat tersendiri, yang ia dihadapkan kepadanyya.”
            فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ  (maka berlomba-lombalah kamu [dalam berbuat kebaikan]. Yakni: Ilal lhairat (kepada kebaikan ) dengan pembuangan kalimat dan pengaitannya, yaitu: Bersegeralah kalian menuju kepada apa yang diperintahkan Allah berupa menghadap ke arah Baitul Haram, sebagaimana yang tersirat dari konotasinya, walaupun konteksnya menunjukkan perintah berlomba menuju setiap hal yang bisa disebut kebaikan, sebagaimana yang dapat tersirat dari keumuman pengertian al khairat. Dan yang dimaksud dengan berlomba menghadap adalah: Berlomba menuju shalat di awal waktunya.
            أَيْنَ مَاتَكُونُواْ  (Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan ), yakni: di arah manapun kalian berada, Allah akan mengumpulkan ) yakni : di arah mana pun kalian berada, Allah akan mendatangkan kalian semuanya pada hari kiamat nanti untuk diberi balasan. Atau:Allah akan mengumpulkan kalian semua, dan menjadikan shalat kalian ke berbagai arah itu seolah-olah hanya ke satu arah saja.
(Dan dari mana saja kamu keluar), Allah SWT mengulang ini untuk menaskan perintah perintah menghadap ke arah Ka’bah dan agar lebih diperhatikan, karena lokasi pemindahan bisa terasa berat pada jiwa mereka.
            Ada juga yang berpendapat : Maksud pengulang ini, bahwa penghapusan ini termasuk sarana fitnah dan keraguan, bila mereka mendengar lagi setelah mendengar sebelumnya, maka mereka akan mantap dan akan sirnalah apa yang mengganjal di dalam dada mereka. Pendapat lain mengatakan: Allah mengulangi ketetapan ini karena banyaknya alssan, karena Allah telah menyebutkan tiga alasan pengalihan itu:
            Pertama: Untuk mendapatkan keridhaan-Nya.
            Kedua: Adalah kebiasaan Allah untuk menghadapkan setiap pemeluk agama ke arah kiblat tersendiri.
            Ketiga: Untuk menyanggah argumen orang-orang yang menyelisihi. Jadi setiap alasan disertai maksudnya. Ada juga yang berpendapat: Bahwa yang dimaksud dengan ungkapan yang pertama adalah: Palingkanlah wajahmu ke arah Ka’bah bila engkau shalat di hadapannya. Kemudian Allah berkata, “Dan dimanapun kalian berada wahai sekalian kaum muslimin dan seluruh masjid Madinah dan lainnya, palingkanlah wajah kalian ke arahnya.”
            Kemudian Allah mengatakan (Dan dari mana saja kamu keluar,) yakni sebagai perintah yang mewajibkan saat dalam perjalanan (safar). Jadi ini merupakan perintah untuk menghadap ke arah ka’bah di semua tempat, di belahan bumi manapun.
            (Agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu), ada yang berpendapat, bahwa maknanya adalah: agar orang-orang Yahudi tidak mempunyai hujjah atas kalian kecuali orang-orang yang membangkang di antara mereka yaitu yang berkata. “Tidaklah ia meninggalkan kiblat kita dan beralih ke Ka’bah, kecualikarena ia condong kepada agama kaumnya. “Dengan pengertian ini, maka yang dimaksud dengan “orang-orang yang zhalim” adalah orang-orang yang membangkang dari kalangan Ali Kitab. Pendapat lain menyatakan, bahwa  mereka adalah kaum musyrikin Arab, dan hujjah mereka adalah, “Engkau kembali kiblat kami.”
            Ada juga yang mengatakan, bahwa maknanya adalah: Agar manusia tidak mempunyai hujjah atas kalian, yaitu agar mereka tidak mengatakan kepada kalian, “Kalian telah diperintahkan untuk menghadap ke arah kiblat, tapi kalian tidak menyetujuinya.”
            Abu Ubaidah berkata, “Kata (kecuali) disini bermakna wawu (dan), yakni: walladziina zhalamuu (dan orang-orang yang zhalim)”. Ini adalah pengecualian yang bermakna wawu. Contohnya dalam ucapan seorang penyair:
Tidak ada istana di Madinah kecuali satu yaitu istana Khalifah dan istana Marwan”
            Seolah-olah ia mengatakan, “Illaa daar al khaliifah wa daar marwan” (kecuali istana khalifah dan istana Marwan). Az-Zujaj menyangkal pendapat ini dengan berkata, “Ini adalah bentuk pengecualian terpisah, yakni: Laakinilladziina zhalamuu minhum fainnahum yahtajjuun akan tetapi orang-orang yang zhalim dengan hujjahnya terhadap apa yang telah jelas baginya ” . Sebagaimana anda mengatakan: Maa laka ‘alayya hujjah al battah walakinnaka tazhlimuni (engkau tidak punya alasan sama sekali, tapi engkau menzhalimiku). Kezhaliman disebut hujjah karena alasannya disebut hujjah, walaupun lemah.
            Qurthub berkata, “Boleh juga maknanya: Agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kalian kecuali atas orang-orang yang zhalim. Jadi ditampakkan: ”Wa li utimma ni’mati ‘alaikum ‘arraftukum qiblatii (danagar aku sempurnakan nukmat-Ku kepadamu, yaitu Aku mengenalkan kiblatku kepadamu). Demikian yang dikatakan oleh Az-Zujaj. Ada juga yang mengatakan bahwa kalimat ini di ‘athafkan kepada alasan yang diperkirakan , jadi seolah-olah dikatakan: Wakhsyaunii lauwaffiqakum wwalautimma ni’matii ‘alaikum (tetapi takutlah kepada-Ku agar aku menunjukimu dan agar Aku menyempurnakan nikmat-Ku kepadamu dengan sangat sempurna sebagaimana kami telah mengutus). Demikian yang dikatakan oleh Al Farra’ yang didukung oleh Ibnu Athiyyah . Pendapat lain menyatakan, bahwa kaf pada kalimat tersebut posisi nashab sebagai haal (keterangan kondisi) sehingga maknanya adalah: Waliutimma ni’ matii ‘alakum fii haadzihil (dan agar aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu dalam kondisi ini). Sedangkan peenyerupaannya yakni konotasi kaaf sebagaimana/seperti berlaku pada ungkapan. Bahwa nikmat berkenaan dengan kiblat ini seperti nikmat berkenaan dengan kerasulan. Ada juga yang mengatakan , bahwa makan redaksi ini adalah berdasarkan mendahulkan dan mengemudiankan nikmat, yakni: Fadzkuruuni Kamaa arsalnaa (karena itu ingatlah kamu kepada-Ku sebagaimanakami relah mengutus)) Demiian yang dikatakan oleh Az-Zujaj
3. Tafsir
Tafsir Ibnu katsir
Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas, “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri).” Yang dimaksud dengan umat ialah para pemeluk agama. Dia berkata, “Setiap kabilah memiliki kiblat yang disukainya. Kiblat Allah ialah yang dihadapi oleh kaum mukmin.” Abu al-Aliyah berkata, “Kaum Yahudi memiliki kiblat yang dihadapinya dan kaum Nasrani pun memiliki kiblat yang dihadapinya. Dan Dia menunjukkanmu, wahai umat Islam, kepada kiblat yaitu kiblat Ka’bah.” Ayat ini mirip dengan firman Allah, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jallan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allahh hendak menguji  kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan , hanya kepada Allahlah kembali kamu semua” (al-Maidah:48) Dari sana Allah berfirman, “Di mana saja kamu berada, Allah akan mengumpulkan kamu semua. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. “ Maksudnya, Dia Mahakuasauntuk mengumpulkan kalian dari muka bumi, meskipun tubuh dan jasad kalian berpencar-pencar.
Tafsir Yusuf Ali
Al-Masjidul-Haram : Ka’bah berada di dalam kota suci Mekah. Tidaklah benar pendapat yang mengatakan bahwa perintah yang metapkan Ka’bah sebagai kiblat telah mencabut 2:115,
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعُ عَلِيمُُ
 yang menegaskan bahwa Timur dan barat milik Allah, dan Ia berada Dimana milik Allah, dan ia beraa di mana-mana. Yang demikian memperkuat , kata yang sama mengenai Timur dan Barat ini diulang kembali dalam rangkaian  ayat ini juga; lihat 2:142
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا ۚ قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
 di atas. Bahwa dalam hubungan ini al-Itqan menyatakan mansukh, sayang sekali saya tidak sependapat, kecuali mansukhdalam pengertian yang khusus, seperti yang dikemukakan oleh beberapa mufasir.


Tafsir As-Sa’di
Maksudnya, setiap pemeluk suatu agama pasti memiliki arah yang menjadi tujuan dalam menghadap ketika beribadah, dan bukanlah kondisinya seperti dalam menghadap kiblat, karena sesuangguhnya dia adalah sebuah syariat yang waktu dan kondisi selalu berubah dengannya , dan terkena hukum nasakh dan perlaihan dari suatu arah ke arah yang lain, akan tetapi masalahnya adalah dalam menunaikan ketaatan kepada Allah, mendekatkan diri kepada-Nya, dan memohon derajat dariNya, inilah tanda-tanda kebahagiaan dan kecintaan, yaitu suatu hal yang bila jiwa tidak bersifat dengannya niscaya akan mengakibatkan kerugian dunia dan akhirat, sebagaimana juga bila dia bersifat dengannya, maka itulah keuntungan yang sesungguhnya
Hal in adalah suatu perkara yang telah disepakati dalam seluruh syariat, karena Allah menciptakan makhluk untuk hal itu dan Dia perintahkan kepadanya. Perintah untuk berlomba dalam kebaikan merupakan perkara tambahan atas perintah untuk berbuat baik , karena berlomba berbuat kebaikan meliputi beberapa hal, yaitu dengan melakukannya, menyempurnakannya dan menempatkannya dalam bentuk yang paling sempurna , serat bersegera kepadanya, barang siapa yang berlomba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi pemenang di akhirat dengan surga dan orang-orang yang dahulu dalam perlombaan adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya
            Kebaikan itu meliputi segala hal yang diwajibkan dan yang disunnahkan, seperti shalat, puasa, zakat, haji, umrah dan jihad serta manfaat yang luas maupun sempit. Ketika suatu hal yang paling mendorong jiwa untuk berlomba-lomba kepada kebaikan dan menggiatkannya adalah apa yang dijanjikan oleh Allah terhadapnya dari pahala maka Allah berfirman “Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada Hari Kiamat). Seungguhnya Allah Mahakuasa atas segala seesuatu”, Allah akan mengumpulkan kalian pada hari kiamat dengan kausaNya, kemudian Allah akan membalas segala perbuatan setiap orang sesuai dengan perbuatannya.
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاءُوا بِمَا عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِينَ أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى
Supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).” (An-Najm:31)
Ayat yang mulia ini dapat dijadikan dalil untuk mengadakakan setiap hal yang mulia yang berkaitan dengan suatu perbuatan seperti shalat pada awal waktu , bersgera dalam menunaikan kewajiban seperti puasa , haji umrah, mengeluarkan zakat, mengerjakan sunnah-sunnah ibadah dan adab-adabnya. Sungguh hanya milik Allah sajalah ayat yang sangat lengkap dan paling bermanfaat.



















DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rifai, Muhammad Nasib, 2011Tafsir Ibnu Katsir , Depok , Gema Insani.

As-Syaukani, Muhammad, 2008Tafsir Fathul Qadir , Jakarta, Pustaka Azzam.

As-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir, 2008Tafsir Al-Karim  ar-rahman fi Tafsir Kalam Al-Manan , Jakarta, Pustaka Shahifa.

Ali, Abdullah Yusuf, 2009Tafsir Yusuf Ali, Jakarta, Pustaka Litera Antarnusa.

0 komentar:

Posting Komentar