1. Teks Ayat dan Terjemah
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُواْ
الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَاتَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ جَمِيعاً إِنَّ اللّهَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿١٤٨﴾
Artinya:
“Dan bagi
tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS
Al Baqarah : 148).
2. Kata Kunci (Mufradât)
Firman-Nya وَلِكُلٍّ
(dan bagi tiap-tiap umat) mudhaf ilaih-nya (penyandang kata
majemuknya) dibuang, ini ditandakan dengan tanwin. Maknanya: bagi setiap
pemeluk agama ada kiblatnya terssendiri. (ada kiblatnya) adalah format fi’lah dari
kata muwaajahah yang maknanya mencakup jihah (arah) dan wajh (wajah), adapun
maksudnya disini adalah kiblat. Yakni, bahwa mereka tidak akan mengikuti
kiblatmu, dan engkau pun tidak akan mengikuti kiblat mereka.
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ (dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (tersendiri)) baik secara
hak maupun batil. Dhamir (هُوَ yakni kata ganti) pada kalimat: (مُوَلِّيهَا هُوَ yang ia menghadap kepadanya) kembali lafazh
dan dhamir pada kalimat (مُوَلِّيهَا menghadapkan wajahnya kepadanya). Artinya: bahwa setiap pemeluk
agama memiliki kiblat tersendiri, dan pemilik kiblat itu menghadapkan wajahnya
kepadanya (kepada kiblatnya). Atau: setiap kalian wahai umat Muhammad, Shalat
dengan menghadap ke arahnya, baik ia berada di timur, di barat, di selatan
ataupun di utara. Makna ini bila khithab tersebut ditujukan kepada kaum
muslimin. Kemungkinan juga dhamir adalah Allah Swt, walaupun sebelum tidak ada
redaksi yang mengindikasikan ini, karena sudah maklum bahwa Allah-lah yang
melakukan ini (menghadapkan manusia), sehingga maknanya: Bahwa setiap pemeluk
agama ada kiblatnya tersendiri, Allah menghadapkannya ke arah kiblatnya.
Ath-Thabari
menceritakan, bahwa ada suatu kaum yang membacanya: وَلِكُلّ (dan bagi tiap-tiap
arah) dengan bentuk idhafah (penyandaran .. kepada ..) Bacaan ini disandarkan
kepada Ibnu Abbas oleh Abu Amr Ad-Dani. Disebutkan di dalam al-kasysyaf:
wakullu wijhatin Allahu muwalliihaa (dan setiap kiblat, Allah-lah yang
menghadapkannya), lalu ditambahkan laam karena mafulnya didahulukan , seperti
ungkapan : lizaidin dharabtu (Zaid-lah yang aku memukul), dan lizaidin abuuhu
dhaaribuhu (Zaid-lah yang dipukul oleh ayahnya). “Ibnu Abbas dan Ibnu Amir
membacanya ”Muwallaahaa” sebagai bentuk ungkapan yang tidak menyebutkan
fa’ilnya. Az-Zujaj berkata, “Dhamir dalam bacaan ini untuk satu orang, yakni:
Setiap orang dari manusia mempunyai kiblat tersendiri, yang ia dihadapkan
kepadanyya.”
فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ (maka berlomba-lombalah kamu [dalam berbuat kebaikan]. Yakni: Ilal
lhairat (kepada kebaikan ) dengan pembuangan kalimat dan pengaitannya, yaitu:
Bersegeralah kalian menuju kepada apa yang diperintahkan Allah berupa menghadap
ke arah Baitul Haram, sebagaimana yang tersirat dari konotasinya, walaupun
konteksnya menunjukkan perintah berlomba menuju setiap hal yang bisa disebut
kebaikan, sebagaimana yang dapat tersirat dari keumuman pengertian al khairat.
Dan yang dimaksud dengan berlomba menghadap adalah: Berlomba menuju shalat di
awal waktunya.
أَيْنَ مَاتَكُونُواْ (Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan ), yakni: di
arah manapun kalian berada, Allah akan mengumpulkan ) yakni : di arah mana pun
kalian berada, Allah akan mendatangkan kalian semuanya pada hari kiamat nanti
untuk diberi balasan. Atau:Allah akan mengumpulkan kalian semua, dan menjadikan
shalat kalian ke berbagai arah itu seolah-olah hanya ke satu arah saja.
(Dan dari mana saja kamu keluar), Allah SWT mengulang ini untuk
menaskan perintah perintah menghadap ke arah Ka’bah dan agar lebih diperhatikan,
karena lokasi pemindahan bisa terasa berat pada jiwa mereka.
Ada juga yang
berpendapat : Maksud pengulang ini, bahwa penghapusan ini termasuk sarana
fitnah dan keraguan, bila mereka mendengar lagi setelah mendengar sebelumnya,
maka mereka akan mantap dan akan sirnalah apa yang mengganjal di dalam dada
mereka. Pendapat lain mengatakan: Allah mengulangi ketetapan ini karena
banyaknya alssan, karena Allah telah menyebutkan tiga alasan pengalihan itu:
Pertama: Untuk
mendapatkan keridhaan-Nya.
Kedua: Adalah
kebiasaan Allah untuk menghadapkan setiap pemeluk agama ke arah kiblat
tersendiri.
Ketiga: Untuk
menyanggah argumen orang-orang yang menyelisihi. Jadi setiap alasan disertai
maksudnya. Ada juga yang berpendapat: Bahwa yang dimaksud dengan ungkapan yang
pertama adalah: Palingkanlah wajahmu ke arah Ka’bah bila engkau shalat di
hadapannya. Kemudian Allah berkata, “Dan dimanapun kalian berada wahai sekalian
kaum muslimin dan seluruh masjid Madinah dan lainnya, palingkanlah wajah kalian
ke arahnya.”
Kemudian Allah
mengatakan (Dan dari mana saja kamu keluar,) yakni sebagai perintah yang
mewajibkan saat dalam perjalanan (safar). Jadi ini merupakan perintah untuk
menghadap ke arah ka’bah di semua tempat, di belahan bumi manapun.
(Agar tidak ada
hujjah bagi manusia atas kamu), ada yang berpendapat, bahwa maknanya adalah:
agar orang-orang Yahudi tidak mempunyai hujjah atas kalian kecuali orang-orang
yang membangkang di antara mereka yaitu yang berkata. “Tidaklah ia meninggalkan
kiblat kita dan beralih ke Ka’bah, kecualikarena ia condong kepada agama
kaumnya. “Dengan pengertian ini, maka yang dimaksud dengan “orang-orang yang
zhalim” adalah orang-orang yang membangkang dari kalangan Ali Kitab. Pendapat
lain menyatakan, bahwa mereka adalah
kaum musyrikin Arab, dan hujjah mereka adalah, “Engkau kembali kiblat kami.”
Ada juga yang
mengatakan, bahwa maknanya adalah: Agar manusia tidak mempunyai hujjah atas
kalian, yaitu agar mereka tidak mengatakan kepada kalian, “Kalian telah
diperintahkan untuk menghadap ke arah kiblat, tapi kalian tidak menyetujuinya.”
Abu Ubaidah
berkata, “Kata (kecuali) disini bermakna wawu (dan), yakni: walladziina
zhalamuu (dan orang-orang yang zhalim)”. Ini adalah pengecualian yang bermakna
wawu. Contohnya dalam ucapan seorang penyair:
Tidak ada istana di Madinah kecuali satu yaitu istana Khalifah dan
istana Marwan”
Seolah-olah ia
mengatakan, “Illaa daar al khaliifah wa daar marwan” (kecuali istana khalifah
dan istana Marwan). Az-Zujaj menyangkal pendapat ini dengan berkata, “Ini
adalah bentuk pengecualian terpisah, yakni: Laakinilladziina zhalamuu minhum
fainnahum yahtajjuun akan tetapi orang-orang yang zhalim dengan hujjahnya
terhadap apa yang telah jelas baginya ” . Sebagaimana anda mengatakan: Maa laka
‘alayya hujjah al battah walakinnaka tazhlimuni (engkau tidak punya alasan sama
sekali, tapi engkau menzhalimiku). Kezhaliman disebut hujjah karena alasannya
disebut hujjah, walaupun lemah.
Qurthub berkata,
“Boleh juga maknanya: Agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kalian kecuali atas
orang-orang yang zhalim. Jadi ditampakkan: ”Wa li utimma ni’mati ‘alaikum
‘arraftukum qiblatii (danagar aku sempurnakan nukmat-Ku kepadamu, yaitu Aku
mengenalkan kiblatku kepadamu). Demikian yang dikatakan oleh Az-Zujaj. Ada juga
yang mengatakan bahwa kalimat ini di ‘athafkan kepada alasan yang diperkirakan
, jadi seolah-olah dikatakan: Wakhsyaunii lauwaffiqakum wwalautimma ni’matii
‘alaikum (tetapi takutlah kepada-Ku agar aku menunjukimu dan agar Aku
menyempurnakan nikmat-Ku kepadamu dengan sangat sempurna sebagaimana kami telah
mengutus). Demikian yang dikatakan oleh Al Farra’ yang didukung oleh Ibnu
Athiyyah . Pendapat lain menyatakan, bahwa kaf pada kalimat tersebut posisi
nashab sebagai haal (keterangan kondisi) sehingga maknanya adalah: Waliutimma ni’
matii ‘alakum fii haadzihil (dan agar aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu dalam
kondisi ini). Sedangkan peenyerupaannya yakni konotasi kaaf sebagaimana/seperti
berlaku pada ungkapan. Bahwa nikmat berkenaan dengan kiblat ini seperti nikmat
berkenaan dengan kerasulan. Ada juga yang mengatakan , bahwa makan redaksi ini
adalah berdasarkan mendahulkan dan mengemudiankan nikmat, yakni: Fadzkuruuni
Kamaa arsalnaa (karena itu ingatlah kamu kepada-Ku sebagaimanakami relah
mengutus)) Demiian yang dikatakan oleh Az-Zujaj
3. Tafsir
Tafsir Ibnu katsir
Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas, “Dan bagi tiap-tiap umat ada
kiblatnya (sendiri).” Yang dimaksud dengan umat ialah para pemeluk agama. Dia
berkata, “Setiap kabilah memiliki kiblat yang disukainya. Kiblat Allah ialah
yang dihadapi oleh kaum mukmin.” Abu al-Aliyah berkata, “Kaum Yahudi memiliki
kiblat yang dihadapinya dan kaum Nasrani pun memiliki kiblat yang dihadapinya.
Dan Dia menunjukkanmu, wahai umat Islam, kepada kiblat yaitu kiblat Ka’bah.”
Ayat ini mirip dengan firman Allah, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami
berikan aturan dan jallan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allahh hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan , hanya kepada Allahlah kembali kamu semua”
(al-Maidah:48) Dari sana Allah berfirman, “Di mana saja kamu berada, Allah akan
mengumpulkan kamu semua. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. “
Maksudnya, Dia Mahakuasauntuk mengumpulkan kalian dari muka bumi, meskipun
tubuh dan jasad kalian berpencar-pencar.
Tafsir Yusuf Ali
Al-Masjidul-Haram : Ka’bah berada di dalam kota suci Mekah.
Tidaklah benar pendapat yang mengatakan bahwa perintah yang metapkan Ka’bah
sebagai kiblat telah mencabut 2:115,
وَلِلَّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ وَاسِعُ عَلِيمُُ
yang menegaskan bahwa Timur
dan barat milik Allah, dan Ia berada Dimana milik Allah, dan ia beraa di
mana-mana. Yang demikian memperkuat , kata yang sama mengenai Timur dan Barat
ini diulang kembali dalam rangkaian ayat
ini juga; lihat 2:142
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ
قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا ۚ قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ
ۚ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
di atas. Bahwa dalam
hubungan ini al-Itqan menyatakan mansukh, sayang sekali saya tidak sependapat,
kecuali mansukhdalam pengertian yang khusus, seperti yang dikemukakan oleh
beberapa mufasir.
Tafsir As-Sa’di
Maksudnya, setiap pemeluk suatu agama pasti memiliki arah yang
menjadi tujuan dalam menghadap ketika beribadah, dan bukanlah kondisinya
seperti dalam menghadap kiblat, karena sesuangguhnya dia adalah sebuah syariat
yang waktu dan kondisi selalu berubah dengannya , dan terkena hukum nasakh dan
perlaihan dari suatu arah ke arah yang lain, akan tetapi masalahnya adalah
dalam menunaikan ketaatan kepada Allah, mendekatkan diri kepada-Nya, dan
memohon derajat dariNya, inilah tanda-tanda kebahagiaan dan kecintaan, yaitu
suatu hal yang bila jiwa tidak bersifat dengannya niscaya akan mengakibatkan
kerugian dunia dan akhirat, sebagaimana juga bila dia bersifat dengannya, maka
itulah keuntungan yang sesungguhnya
Hal in adalah suatu perkara yang telah disepakati dalam seluruh
syariat, karena Allah menciptakan makhluk untuk hal itu dan Dia perintahkan
kepadanya. Perintah untuk berlomba dalam kebaikan merupakan perkara tambahan
atas perintah untuk berbuat baik , karena berlomba berbuat kebaikan meliputi
beberapa hal, yaitu dengan melakukannya, menyempurnakannya dan menempatkannya
dalam bentuk yang paling sempurna , serat bersegera kepadanya, barang siapa
yang berlomba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi pemenang di
akhirat dengan surga dan orang-orang yang dahulu dalam perlombaan adalah
makhluk yang paling tinggi derajatnya
Kebaikan itu
meliputi segala hal yang diwajibkan dan yang disunnahkan, seperti shalat,
puasa, zakat, haji, umrah dan jihad serta manfaat yang luas maupun sempit.
Ketika suatu hal yang paling mendorong jiwa untuk berlomba-lomba kepada
kebaikan dan menggiatkannya adalah apa yang dijanjikan oleh Allah terhadapnya
dari pahala maka Allah berfirman “Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan
kamu sekalian (pada Hari Kiamat). Seungguhnya Allah Mahakuasa atas segala
seesuatu”, Allah akan mengumpulkan kalian pada hari kiamat dengan kausaNya,
kemudian Allah akan membalas segala perbuatan setiap orang sesuai dengan
perbuatannya.
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي
الْأَرْضِ لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاءُوا بِمَا عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِينَ
أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى
Supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat
terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).” (An-Najm:31)
Ayat yang mulia ini dapat dijadikan dalil untuk mengadakakan setiap
hal yang mulia yang berkaitan dengan suatu perbuatan seperti shalat pada awal
waktu , bersgera dalam menunaikan kewajiban seperti puasa , haji umrah,
mengeluarkan zakat, mengerjakan sunnah-sunnah ibadah dan adab-adabnya. Sungguh
hanya milik Allah sajalah ayat yang sangat lengkap dan paling bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rifai, Muhammad Nasib, 2011, Tafsir Ibnu Katsir , Depok , Gema Insani.
As-Syaukani, Muhammad, 2008, Tafsir Fathul Qadir , Jakarta, Pustaka Azzam.
As-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir, 2008, Tafsir Al-Karim ar-rahman fi Tafsir Kalam Al-Manan , Jakarta, Pustaka Shahifa.
Ali, Abdullah Yusuf, 2009, Tafsir Yusuf Ali, Jakarta, Pustaka Litera Antarnusa.
0 komentar:
Posting Komentar